Disusun Oleh : A. Nisa, Fahryani
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pulau jawa merupakan
salah satu pulau besar di Indonesia dengan berbagai macam suku yang mendiami
pulau tersebut, salah satunya suku bangsa Jawa. Masyarakat Jawa atau suku
bangsa Jawa identik dengan Bahasa Jawa dengan berbagai dialek yang berbeda di
beberapa daerahnya secara turun temurun. Masyarakat Jawa adalah mereka yang
bertempat tinggal di Pulai Jawa khususnya Jawa
Tengah dan Jawa Timur.
Perkembangan kehidupan
orang Jawa sudah mengalami pergeseran budaya karena dipengaruhi beberapa
kebudayaan baru. Berawal dari kebudayaan Jawa pada jaman prasejarah. Pendapat
lain dari masyarakat mengatakan bahwa kehidupan orang Jawa dipengaruhi secara
besar-besaran oleh paham animisme atau kepercayaan jaman prasejarah atau
sebelum agama-agaman datang ke Indonesia.[1]
Kemudian datang agama-agama baru seperti, Hindu Budha dan Islam. Setelah itu
Kolonial datang dengan budaya Baratnya dan berpengaruh sampai hingga sekarang.
Namun, peradaban Jawa
yang kental masih ada sampai sekarang. Walaupun sudah banyak bercampur dengan
bermacam-macam agama seperti Hindu, Budha, Islam, dan sebagainya, kebudayaan
Jawa masih dapat terlihat dengan jelas. Dalam makalah ini akan dijelaskan
tentang beberapa agama-agama yang berkembang di Jawa sebelum Islam datang dan
ajarannya masih digunakan sampai saat ini walaupun sudah bercampur dengan
ajaran dari agama lain.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian latar
belakang diatas maka dapat ditentukan rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apa
saja agama-agama di Jawa sebelum datangnya Islam?
2. Bagaimana
perkembangan agama-agama tersebut di Jawa?
BAB
II
ANIMISME
DAN DINAMISME
1.
Animisme
Animisme
atau kepercayaan Animisme adalah kepercayaan tentang adanya roh pada benda,
binatang, tumbuhan dan juga pada manusia sendiri.[2] Animisme berasal dari “anima” yang artinya “nyawa”. Bahasa latin
imus, bahasa yunani avepos, bahasa sansekerta prana,
semua berarti nafas atau jiwa. Animisme adalah ajaran atau doktrin tentang
realitas jiwa.[3]
Dengan demikian animisme adalah sesuatu bentuk kepercayaan terhadap jiwa (ruh)
yang memiliki kekuatan.
Masyarakat yang primif
percaya bahwa nyawa orang yang telah mati, yang digambarkan sebagai ruh atau
sukma, akan tetap hidup terus. Tetapi ruh atau sukma tersebut bukan merupakan
bagian dari manusia, tetapi “manusia seutuhnya” . oleh sebab itu orang yang
sudah mati digambarkan mempunyai badan seperti orang yang masih hidup dan
benar-benar sesuai dengan wujud orang yang masih hidup, hanya saja dipercaya
sebagai hantu dan biasanya ditakuti oleh orang yang masih hidup. Dalam
kepercayaan animisme terdapat sifat-sifat yang khas seperti berikut:
a.
Adanya suatu
susunan keagamaan dengan rangkaian upacara dan bentuk-bentuk sesembahan yang
menggambarkan adanya makhluk-makhluk halus, ruh-ruh dan jiwa-jiwa yang
mempunyai keinginan dan kehendak.
b.
Adanya daya
kekuatan dalam diri manusia yang disebabkan oleh adanya keinginan dan kehendak.
c.
Adanya
kepercayaan bahwa ruh-ruh dan makhluk halus berada disekitar manusia, baik di
hutan, pohon, gunung, rumah, jalan dan sebagainya.
d.
Sikap manusia
terhadap ruh dan makhluk halus adalah ambivalen.
e.
Ruh-ruh dan
makhluk-makhluk halus besifat supramanusiawi dan dipercayai sangat mempengaruhi
dan menentukan keselamatan hidup manusia.
Teori animisme dimunculkan pertama
kali oleh E.B. Tylor (1832-1917), seorang antropolog asal inggris yang juga
menekuni bidang etnografi dan arkeologi. Menurutnya animisme adalah
perlambangan dari suatu jiwa atau ruh dari beberapa makhluk hidup karena adanya
jiwa atau nyawa, baik yang aktif ataupun yang tidak aktif. Dari sinilah manusia
primitif sampai pada suatu konsepsi tentang adanya makhluk-makhluk diluar
manusia dan dapat menentukan kehidupan mereka. Menurut teori tylor, agama
premitif seperti animisme ini bersumber pada penggambaran dan personofikasi
orang terhadap ruh dan makhluk-makhlk halus pada setiap makhluk dan
objek-objeknya di sekelilingnya, sehingga menurut tylor lebih lanjut agama
adalah kepercayaan manusia terhadap adanya suatu hubungan antara dirinya dengan
ruh-ruh yang dianggap memiliki, menguasai dan berada di mana-mana serta
memenuhi alam semesta ini[4].
2.
Dinamisme
Kata dinamisme berasal dari kata
yang terdapat dalam bahasa Yunani “dunamos”, yang istilah inggrisnya
adalah “dynamis”, yang diartikan dalam bahasa indonesia adalah kekuatan,
kekuasaan, atau khasiat, dan daya.[5]
Harun Nasution menyatakan bahwa bagi
manusia primitif, yang tingkat kebudayaannya masih relatif sangat rendah, setiap
benda yang berada disekelilingnya bisa mempunyai kekuatan batin yang misterius.
Masyarakat primitif memberi berbagai nama kepada kekuatan batin itu, misalnya tuah.
T.S.G. Mulia menjelaskan dinamisme
sebagai suatu kepercayaan bahwa pada berbagi benda terdapat suatu kekuatan atau
kesaktian, misalnya dalam api, batu, tumbuh-tumbuhan hewan dan juga pada
manusia. Kekuatan atau kesaktian ini tidak dibayangkan sebagai suatu tokoh atau
pribadi melainkan bersifat abstrak. Dengan demikian dinamisme adalah kepercayaan
kepada suatu daya kekuatan atau kekuasaan yang keramat dan tidak berpribadi,
yang dianggap halus atau berjasa, yaitu sejenis “fluidum”, yang dapat dimiliki
maupun tidak dapat dimiliki oleh benda, binatang atau manusia.[6]
Dalam praktek kehidupan masyarakat
primitif, jika seseoramg atau benda dianggap tidak mempunyai tuah, maka
orang atau benda tersebut tidak diperhatikan. Sebaliknya bila seseoramg atau
benda tersebut diketahui memiliki tuah, maka ia akan diperhatikan secara
khusus. Ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu: apakah orang atau benda
yang mengandung kekuatan itu yang harus ditakuti, ataukah daya atau kekuatan
itu sendiri yang harus ditakuti dan dihormati. Apapun kemungkinan tersebut yang
jelas orang yang percaya kepada kekuatan itu harus melakukan suatu upacara
untuk menghormatinya atau bahkan mungkin berusaha melumpuhkannya dengan
berbagai daya penangkal. Dinamisme ini bukan merupakan struktur panteistis,
yang percaya bahwa segala makhluk dan benda itu mengandung daya ilahi.
BAB
III
HINDU
BUDHA
A. Hindu
Agama Hindu adalah agama yang para
penganutnya menyembah dan memuja dewa-dewa Wisnu, Siwa, Sakti, anak-anaknya dan
sebagainya. Agama hindu timbul dari dua arus utama yang membentuknya yaitu
agama (bangsa) Dravida dan agama (bangsa) Arya. Agama ini
menyerap ide-ide, penalaran dan amalan kedewaan Siwa, Dewi Ibu, pemujaan
patung, pertapaan, ajaran penjelmaan kembali dan sebagainya. Siwa dianggap
sebagai Dewa angin badai yang ada dalam kitab weda, dan di sini Siwa disbut
sebagai Rudra. Dalam perkembangannya ia adalah salah satu dewa
terpenting dalam agama Hindu[7].
Di
India, agama Hindu sering disebut dengan nama sanatana Dharma,yang
berarti agama yang kekal, atau Waidika Dharma, yang berarti agama yang
berdasarkan kitab sucu Weda. Menurut para sarjana, agama tersebut terbentuk
dari campuran agama India asli dengan agama atau kepercayaan bangsa Arya.
Sebelum kedatangan bangsa Arya di India telah lama hidup bangsa-bangsa Dravida
yang telah mencapai suatu tingkat peradaban yang tinggi, sebagaimana yang telah
dibuktikan oleh penelitian-penelitian yang telah dilakukan terhadap wilayah
Lembah Indus. Secara garis besar perkembangan agama Hindu dapat dibedakan tiga
tahap.
Tahap
pertama, sering disebut dengan zaman weda, yang dimulai dengan masuknya bangsa
Arya di Punjab hingga munculnya agama Buddha. Pada masa ini dikenal dengan
adanya tiga priode agama yang disebut dengan priode tiga agama penting (tiga
agama besar). Ketiga priode ini adalah priode ketika bangsa Arya masih berada
di daerah Punjab (1500-1000 SM). Agama dalam priode pertama lebih dikenal
dengan agama Weda kuno atau agama Weda Samhita. Priode kedua ditandai oleh
munculnya agama Brahmana dimana para pendeta berkuasa dan terjadi banyak sekali
perubahan dalam hidup keagamaan (1000-750 SM). Perubahan tersebut lebih
bersifat dari dalam agama Weda sendiri dibanding perubahan karena penyesuaian
agama Weda dengan kepercayaan-kepercayaan yang berasal dari luar. Agama Weda
pada priode kedua ini lebih dikenal dengan nama agama Brahmana. Priode ketiga
ditandai oleh munculnya pemikiran-pemikiran kefilsafatan ketika bangsa Arya
menjadi pusat peradaban sekitar sungai Gangga ( 750-500 SM). Agama Weda pada
priode ini dikenal dengan agama Upanishad.
Tahap
kedua adalah agama Buddha, yang mempunyai corak yang sangat lain dari agama
Weda. Zaman agama Buddha ini diperkirakan berlangsung antara 500 SM – 300 M.
Tahap ketiga adalah apa yang dikenal dengan zaman agam Hindu yang berlangsung
sejak 300 M hingga sekarang.[8]
Agama
Hindu tidak hanya terdapat di India, tetapi telah masuk ke Indonesia bahkan
sangat kuat pengaruhnya terutama di Jawa. Ada bebrapa bukti pengaruh agama
Hindu dan kebudayaan India terhadap Indonesia dalam bidang sastra dan agama,
seni bangunan dan adat kebiasaan yang ada di sekitar keraton. Sehingga dapat
difahami bahwa masuknya pengaruh tersebut bukan melaui kasta-kasta sudra,
waisya ataupun ksatria, tetapi oleh para brahma karena merekalah yang berwenag
membaca kitap suci dan menentukan peribadatan.
Aliran
agama Hindu yang paling besar pengaruhnya adalah aliran Siwa dan Tantra (abad
6). Di Indonesia aliran tantra dan agama Buddha (yang sempat mendesak tantra
keluardari India) justru menyatu dengan sebutan agama Siwa Buddha. Percampuran
antara keduanya terlihat jelas pada zaman kerjaan Singasari (1222-1292). Dari
penemuan prasasti dapat diketahui bahwa perkembangan pengaruh agama Hindu tetap
bersifat di sekitar keraton.
Mengenai
kitab suci, weda adalah kitab suci agam Hindu yang menutamakan pengetahuan suci
tentang Sang Hyang Widi dan perintah-perintahnya. Kitab tersebut wajib dibaca
oleh segenap umat Hindu, tidak terbatas hanya kalangan pendeta saja.
v Sumber Pokok Ajaran Agam Hindu.
a.
Resi, Arya dan
Acarya
b.
Naskah-naskah
suci: Purana dan Tantra.
c.
Kitab Weda,
brahmana, aranyaka dan upanishad.
d.
Etika manusia.
B. Buddha
Secara etimologi, perkataan Buddha berasal
dari kata “ buddh”, yang berarti
bangun atau bangkit, dan dapat pula berarti pergi dari kalangan orang bawah
atau awam. Kata buddha mengandung beberapa pengertian seperti: orang yang telah
memperoleh kebijaksanaan sempurna, orang yang sadar secara spiritual, orang
yang siap sedia menyadarkan orang lain secara spiritual, orang yang bersih dari
kotoran batinyang berpa dosa (kebencian), lobha (serakah), dan moha (egelapan).
Berdasarkan pengertian-pengertian ini jelas bahwa Buddha bukanlah nama diri,
melainkan nama gelar kehormatan bagi orang yang telah mencapai tingkatan
spiritual tertentu[9].
1.
Ajaran agama
buddha
Ajaran agama buddha bersumber pada kitab Tripitaka
yang merupakan kumpulan khotbah,
keterangan, perumpamaan, dan percakapan yang pernah dilakukan sang buddha
dengan para siswa dan pengukutnya. Sumber ajaran tersebut dikelompokkan menjadi
tiga yang dikenal dengan pitaka atau keranjang, yaitu Vinaya pitaka (memuat hal-hal
yang berkenaan dengan peraturan bagi para bhikkun dan bhikkuni), suttra pitaka
(memuat keterangan-keterangan tentang cara hidup yang berguna bagi para bhikkun
dan pengikutnya yang lain), dan abidharma pitaka (berisi uraian filsafat buddha
dharma yang disusun secara analitis dan mencakup berbagai bidang seperti ilmu
jiwa, logika, etika dan metafisika)[10].
2.
Landasan dan
Pokok ajaran agama buddha
1)
Tri Ratna,
terdiri atas buddha, dharma, sangha.
2)
Catur Arya
Satyani (hukum karma)
3)
Hasta Arya Marga ( tumimbal lahir)
4)
Tilakhana,
terdiri atas anitya, anatman, dan dukkha.
5)
Pratitya
samuppada
Berdasarkan
landasan tersebut dapat dilihat ajaran agama buddha: ajaran tentang ketuhanan,
kosmologi buddha, ajaran tentang manusia, ajaran tentang etika, ajaran tentang sangha,
dan upacara atau ritual keagamaan serta susunan masyarakat buddha dan hal-hal
yang berkaitan dengannya.
Ajaran
tentang tuhan, dasar pemahaman tentang tuhan yang diungkapkan dalam aspek naif
tersebut berasal dari sabda-sabda buddha yangmenggambarkan sesuatu yang mutlak
yang mengatasi semua yang ada. Ajaran buddha tidak terlalu mempersoalkan
tentang tuhan itu sendiri melainkan dengan menjelaskan tentang dukkha dan
bagaimana cara menghindari dukkha itu[11].
3.
Sejarah agama
buddha di indonesia
Berdasarkan
penemuan arkeologi di beberapa tempat yang terpisah, masa perkembangn agama
buddha di indonesia dimulai sekitar abad ke-5 M. Pada waktu itu agama buddha
telah berkembang luas di jawa dan sumatra. Dari catatan I’tsing (672) kerajaan
Sriwjaya pada waktu itu merupakan tempat pengajaran agama buddha[12].
BAB
IV
Perkembangan Agama-Agama Pra-Islam di
Jawa
1.
Animisme
dan Dinamisme
Dalam
masyarakat Jawa, kepercayaan ini ada ketika periode prasejarah. Mereka
mempercayai bahwa semua benda yang bergerak dianggap hidup, memiliki kekuatan
gaib, roh, makhluk halus serta adanya watak baik dan jahat. Menurut kepercayaan
masing-masing makhluk halus seperti memedi,
lelembut, tuyul, dhemit, jin, dan lainnya yang menempati alam sekitar
tempat tinggal mereka dapat mendatangkan kesuksesan, ketentraman, kebahagiaan,
atau keselamatan tetpai sebaliknya, bisa pula menimbulkan gangguan pikiran,
kesehatan bahkan kematian.[13]
Untuk
melindungi manusia dari kekuatan jahat dan hal-hal buruk, masyarakat saat itu
menggunakan sesajen atau sesaji agar dilindungi dari roh jahat yang mengganggu
manusia. Sesajen biasanya diletakkan di tempat-tempat yang banyak dihuni oleh
makhluk-makhluk halus atau yang dianggap angker dan gaib, seperti di pohon
beringin, atau pohon-pohon yang besar dan sudah tua. Selain itu, sesajen juga
sering ditempatkan di belik atau tempat mata air dan kuburan-kuburan tempat
para tokoh yang terkenal ketika hidupnya.
Untuk
menarik simpati roh-roh halus, masyarakat biasanya menggunakan sesaji yang
berisi bunga-bunga dan makanan kecil. Sesaji dilakukan oleh masyarakat dengan
tujuan untuk mendukung rasa percaya mereka terhadap roh-roh halus seperti,
lelembut, jin, dan dhemit yang menempati tempat-tempat tertentu agar tidak
menggganggu masyarakat sekitar. Selain itu, juga meminta perlindngan terhadap
makhluk-makhluk halus dari gangguan makhluk-makhluk halus lain yang diutus oleh
seseorang untuk mengganggu keluarganya.
Selain
sesaji, masyarakat saat itu juga melakukan ritual-ritual atau upacara. Ritual
yang mendasar yaitu Slametan atau
selamatan. Selamatan dalah suatu
upacara makan bersama makanan yang telah diberi doa sebelum dibagi-bagikan.[14]
Dalam tradisi Jawa, upacara selamatan dibarengi dengan kesenian seperti wayang
kulit, kuda lumping, ketoprak, dan bermacam-macam tarian merupakan sisa-sisa
peninggalan jaman sebelum Islam datang ke Indonesia.[15]
Tujuan dari slametan sendiri adalah
untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman, dan bebas dari gangguan makhluk yang
nyata maupun halus.[16]
Ritual
lain selain slametan dan sesaji yaitu menambah kekuatan batin. Ritual menambah
kekuatan batin ini dilakukan untuk menambah kekuatan batin agar dapat mempengaruhi
kekuatan alam semesta atau jagadgede.[17]
Ritual yang dilakukan yaitu laku prihatin atau perih ing batin dengan cara cegah
dhahar lawan guling (mencegah makan dan mengurangi tidur). Selain itu, hal
yang harus dilakukan adalah mutih
(hanya makan nasi putih dan minum air putih), ngasrep(hanya makan dan minum dengan rasa tawar), berpuasa pada
hari kelahiran, dan yang terakhir dan yang paling berat yaitu pati geni yaitu tidak makan, tidak minum
dan tidak melihat sinar apapun dalam waktu 40 hari. Pati geni dilakukan dengan menggunakan benda-benda berkekuatan gaib
seperti jimat, yang berupa keris, batu akik, kuku macan, dan sebagainya.
2.
Hindu
dan Budha
Agama
Hindu mulai masuk di Pulau Jawa kira-kira abad ke-5 di Jawa bagian Barat
ditandai dengan berdirinya Kerajaan Tarumanegara yang selanjutnya berdiri
Kerajaan Hindu Mataram di Jawa Tengah. Pada masa Kerajaan Hindu Mataram, Agama
Hindu menjadi satu-satunya pewarna kerajaan dan pemerintahannya.[18]
Pada masa Kerajaan Mataram Kuno dibawah pemerintahan Raja Dharmawangsa mencoba
menggabungkan antara Agama Siwa atau Hindu dengan Agama Budha yang kemudian
dikenal dengan nama “Siwa-Budha”. Mulai saat itu Hindu sudah bukan menjadi
satu-satunya agama di Jawa. Toleransi keagamaan dan kerukunan antar umat
beragama mulai terlihat karena memang
adanya kebijakan politik yang memaksa keadaan menjadi seperti itu. Sejak saat
itu, masyarakat Jawa mengalami bentuk dan sisa peninggalan kerajaan Mataram
Hindu sampai saat ini.
Upacara
Wiwit atau permulaan musim tanam yang
diwujudkan pada pemujaan dewi padi yaitu Dewi Sri adalah upacara untuk
memperoleh kesejhateraan ekonomi. Upacara ini sangat dikenal sampai wilayah
pedalaman karena sangat terkenalnya mitos Dewi Sri. Mitos ini berasal dari India
yang dibawa oleh orang-orang India ke Indonesia termasuk di Jawa. Sampai
sekarang masih ada yang melakukan pemujaan terhadap Dewi Sri di wilayah
pedesaan yang dilakukan oleh masyarakat petani
dengan harapan akan menghasilkan panen yang maksimal.
Ritual
pada masa Hindu Budha yang lain yaitu Upacara Garebeg atau Grebeg.
Menurut sejarah, kata “grebeg” berasal dari kata “gumbrebeg” yang berarti riuh,
ribut, dan ramai.[19]
Pada upacara tersebut para wakil propinsi berkumpul menyerahkan upeti dan
bergembira ria. Adanya upacara di ibukota raja bertujuan untuk menjaga
keserasian antara kerajaannya dan kosmos. Sementara itu warga masyarakat juga
memiliki tujuan yang sama dengan tingkat yang lebih sederhana.[20]
BAB
V
PENUTUP
Kepercayaan Animisme
merupakan kepercayaan yang mempercayai adanya roh dengan kekuatan didalam roh
tersebut. Sedangkan kepercayaan Dinamisme merupakan kepercayaan yang menganggap
bahwa berbagai benda memiliki kekuatan atau kesaktian. Setelah Kepercayaan
tersebut agama lain masuk dan mulai menggantikan kedua kepercayaan sebelumnya.
Agama-agama tersebut yaitu Agama Hindu dengan menyembah dewa-dewa seperti Dewa
Wisnu, Siwa, dan sebagainya. Agama Budha sendiri merupakan gelar kehormatan
bagi orang yang telah mencapai tingkatan spiritual tertentu.
Agama-agama yang datang
ke wilayah Jawa sebelum Islam datang memiliki pengaruh yang cukup besar bagi
perkembangan keagamaan dan kebudayaan di masyarakat. Kepercayaan Animisme dan
Dinamisme pada masa prasejarah yang mempercayai adanya kekuatan roh dengan
berbagai upacara untuk menghormati mereka dan bentuk rasa syukur atas apa yang
mereka dapatkan. Berkembangnya Kerajaan Mataram Kuno menyebabkan ajaran Agama
Hindu mulai menyebar di Jawa. Kemudian disusul Agama Budha dengan pusat
pengajarannya di Kerajaan Sriwijaya.
DAFTAR
PUSTAKA
*Koentjaraningrat. 2004. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
*Muhammad, Damami. 2002. Makna Agama dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: LESFI.
*Rahmat, Fajri dkk. 2012. Agama Agama Dunia. Yogyakarta: Belukar bekerjasama dengan Jurusan Perbandingan Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.
*Sutiyono. 2013. Poros Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: Graha Ilmu.
*______. 2015. Upacara Grebeg Kendalisodo dan Maknanya dalam Membina Kerukunan Masyarakat di Desa Karangjoho Kelurahan Samban Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang. *Dikutip dari laman http://repository.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/4889/T1_152010014_BAB%20II.pdf?sequence=3. Diakses pada tanggal 7 Maret 2015.
[1]
Sutiyono, Poros Kebudayaan Jawa
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 1.
[2] Ibid, hlm. 2.
[3]
Rahmat Fajri
dkk. Agama-Agama Dunia.(yogyakarta: Belukar, 2012), hal. 29
[4]
Ibid.33-34
[5]Ibid.
39
[6] Ibid.39-40
[7] Ibid.
56-57
[8]
Ibid.108-109
[9]
Ibid. 121-122
[10] Ibid.135
[11] Ibid. 137-138
[12] Ibid. 180-181
[13]
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan
di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2004), hlm. 347.
[14] Ibid,.
[15]Sutiyono,
Poros Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013), hlm. 2.
[16] Andrew,
Beatty, Variasi Agama di Jawa: Suatu
Pendekatan Antropologi (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), hlm. 43.
[17]Sutiyono,
Poros Kebudayaan Jawa (Yogyakarta:
Graha Ilmu, 2013), hlm. 3.
[18]
Mohammad Damami, Makna Agama dalam
Masyarakat Jawa (Yogyakarta: LESFI, 2002), hlm. 84.
[19] ___, Upacara Grebeg Kendalisodo dan Maknanya
dalam Membina Kerukunan Masyarakat di Desa Karangjoho Kelurahan Samban
Kecamatan Bawen Kabupaten Semarang, dikutip dari laman “http://repository.uksw.edu/bitstream/handle/123456789/4889/T1_152010014_BAB%20II.pdf?sequence=3”, diakses pada tanggal 7 Maret 2015.
[20]
Sutiyono, Poros Kebudayaan Jawa
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), hlm. 3.
Komentar
Posting Komentar