MAKALAH: PERJUANGAN DAN KEPEMIMPINAN CUT MEUTIA MELAWAN KOLONIAL BELANDA DI TANAH ACEH TAHUN 1901-1910
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perang Aceh yang
terjadi dari tahun 1873 sampai 1904 yang ditandai dengan menyerahnya Kesultanan
Aceh menjadi salah satu perlawanan yang cukup sengit melawan kolonial Belanda
pada saat itu. Perebutan wilayah Aceh oleh Belanda dan rakyat Aceh yang tidak
rela wilayahnya dikuasai oleh Belanda
menjadi faktor utama perlawanan di Aceh. Banyak rakyat yang gugur dalam
perlawanan tersebut termasuk para
pemimpin perlawanan seperti Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Cut Nyak Dien, Cut
Meutia, dan masih banyak lagi.
Namun makalah ini akan
lebih dmenjelaskan tentang perlawanan rakyat Aceh dengan Belanda yang dilakukan
oleh wanita-wanita perkasa salah satunya yaitu Cut Meutia. Dimana Cut Meutia
ini adalah seorang wanita yang berani dan ikut dalam melawan Belanda bersama
dengan Suami dan teman-teman mereka. Perjuangan wanita dalam perang adalah
sesuatu yang tidak biasa. Perang biasanya dilakukan oleh laki-laki yang memang
memiliki kekuatan yang lebih besar daripada wanita. Tetapi dalam perang Aceh
ini wanita menjadi salah satu kekuatan yang tidak kalah dari laki-laki. Tidak
hanya menjadi prajurit perang, Cut Meutia juga menjadi pemimpin perang melawan
Belanda.
B.
Rumusan
Masalah
Dari latar belakang yang
telah dijelaskan diatas, rumusan masalah yang dapat ditulis yaitu :
1. Bagaimana
biografi Cut Meutia?
2. Bagaimana
perjuangan Cut Meutia melawan Belanda?
3. Bagaimana
kepemimpinan Cut Meutia dalam perang?
C.
Tujuan
Tujuan makalah ini
disusun yaitu untuk mengetahui bagaimana biografi dan perjuangan seorang Cut
Meutia sebagai seorang wanita melawan kolonial Belanda dari awal berjuang
bersama suami hingga menjadi pemimpin perang.
BAB
II
METODOLOGI
Jalannya
gerakan sosial dapat diungkapkan berdasarkan kondisi struktural sosial budaya
yang mendorong munculnya gerakan, adanya ketegangan sosial, pertubuhan dan
perkembangan serta pranata kepercayaan yang sebagai dasar gerakan, faktor
pencetus gerakan dan mobilisasi pengikutnya. Kondisi masyarakat yang tertindas
karena adanya kekuasaan dari pihak lain menjadi salah satu dorongan yang kuat
serta tujuan untuk melakukan gerakan.
Penulisan
makalah ini menggunakan metode penelitian sejarah yang bertujuan untuk dapat
memahami dan merekonstruksi kejadian masa lampau secara sistematis dan
obyektif. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologis, dimana
arti dari sosiologis itu sendiri yaitu ilmu
yang mempelajari tentang interaksi manusia dengan manusia lain, individu dengan
individu lain, individu dengan kelompok masyarakat, masyarakat dengan
masyarakat, pemimpin dengan rakyat, rakyat dengan rakyat dan organisasi dengan
organisasi lain.[1]
Pendekatan
sosiologis digunakan dalam menganalisa peristiwa-peristiwa historis yang dikaji
yaitu segi-segi sosialnya. Studi sejarah menggunakan pendekatan sosiologis
dikatakan sebagai Sejarah Sosial. Materi
yang ditulis dalam makalah ini menggunakan pendekatan sosiologis dengan konsep
pokoknya yaitu seks dan gender. Dimana peran wanita dalam perlawanan menjadi
perhatian yang lebih besar karena peran tersebut biasanya dilakukan oleh
laki-laki.
Pengertian
“perjuangan” menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah perkelahian
(merebut sesuatu); usaha yang penuh dengan kesukaran dan bahaya; salah satu
wujud interaksi sosial termasuk persaingan, pelanggaran dan konflik[2]. Pengertian
lain menjelaskan bahwa perjuangan adalah usaha untuk meraih sesuatu yang
diharapkan demi kemuliaan dan kebaikan atau dalam masa penjajahan, perjuangan
adalah segala usaha yang dilakukan untuk memperoleh kemerdekaan[3].
Menurut Susanto Tirtoprojo (1982: 7), yaitu perjuangan memiliki arti luas,
sehingga apa yang dilaksanakan oleh pahlawan-pahlawan di Nusantara merupakan
peristiwa-peristiwa dalam perjuangan nasional Indonesia[4]. Sedangkan
Kansil dan Yulianto berpendapat bahwa mereka membedakan antara “perjuangan” dan
“pergerakan”. Pergerakan mempunyai arti yang khas, yaitu perjuangan untuk
mencapai kemerdekaan dengan menggunakan organisasi yang teratur (Kansil dan
Yulianto, 1988: 15). Jadi dapat disimpulkan bahwa mereka menganggap jika
perjuangan masih menggunakan cara tradisional dan belum ada organisasi yang
mengatur sebagaimana “pergerakan”[5].
Pengertian
kepemimpinan menurut Tead, Terry, dan Hoyt (dalam kartono, 2003) adalah
kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan
pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan
yang diinginkkan kelompok. Sedangkan menurut Young, pengertian kepemimpinan
adalah bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup
mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu yang berdasarkan
penerimaan oleh kelompoknya dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi
situasi yang khusus[6].
Beberapa
tipe kepemimpinan yang dikemukakan oleh Max Weber antara lain :
1. Tipe
Tradisional yaitu kepemimpinan yang berlandaskan pada tradisi yang sudah ada.
2. Tipe
Karismatik yaitu kepemimpinan yang didasarkan pada mutu tertentu yang terdapat
pada pribadi seseorang yang tidak setiap orang memilikinya.
3. Tipe
Legal-Rasional yaitu kepemimpinan yang didasarkan pada komitmen terhadap
seperangkat aturan resmi dan diatur secara impersonal.
Lebih
jauh lagi makalah ini akan menjelaskan tentang bagaimana perjuangan seorang
wanita yaitu Cut Meutia dalam perlawanan di Aceh melawan Belanda. Seorang
wanita keturunan orang terpandang di daerahnya bersedia ikut turun dalam perang
melawan Belanda bersama dengan suami dan teman-teman seperjuangannya sampai
titik darah penghabisan.
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Biografi Cut Meutia
Cut
Meutia atau Cut Nyak Meutia lahir tahun 1870 di Keureutoe, Pirak, Aceh Utara.
Orang tuannya bernama Teuku Ben Daud Pirak dan Cut Jah. Cut Meutia merupakan
putri satu-satunya dalam keluarga tersebut. Keempat saudaranya semua laki-laki.
Ayahnya seorang ulee balang[7] di
desa Pirak, daerah Keureutoe.
Ketika
dewasa Cut Meutia menikah dengan Teuku Samsyarif dengan gelar Teuku Chik
Bintara. Namun Teuku Samsyarif berwatak lemah dan sikap hidupnya yang ingin
berdampingan dengan pihak Belanda. Akhirnya Cut Meutia bercerai dan kemudian
menikah dengan adik Teuku Samsyarif sendiri yaitu Teuku Chik Muhammad atau
dikenal dengan nama Teuku Chik Tunong.
B.
Perjuangan Cut Meutia Melawan Belanda
1)
Bersama
Teuku Chik Tunong
Pergerakan
dimulai pada tahun 1901 dengan basis perjuangan di Krueng Pasai, Aceh Utara. Di
bawah komando Teuku Chik Tunong mereka mematai-matai gerak-gerik tentara lawan
terutama rencana patroli dan pencegatan sehingga lokasi patroli Belanda segera
dapat diketahui. Juni 1902 karena informasi pengikutnya, Teuku Chik Tunong
berhasil mengalahkan seorang pimpinan dan 8 pasukan Belanda.
Agustus
1902 pasukan Chik Tunong dan Cut Meutia mencegat
pasukan Belanda yang berpatroli di daerah Simpang Ulim, Blang Nie. Strategi
yang dipakai oleh pasukan Aceh untuk mencegat pesukan Belanda adalah dengan
menempatkan pasukannya di daerah yang beralang-alang tinggi dekat jalan tidak
jauh dari Meunasah Jeuro sehingga memudahkan para pejuang menyintai dan
sekaligus melakukan penyerangan secara tiba-tiba. Di dalam penyerangan ini
pasukan Belanda lumpuh total dan para pejuang muslim dapat merebut 5 pucuk
senapan[8].
November
1902 jebakan kabar burung yang disusun oleh Cut Meutia berhasil dilakukan oleh
Chik Tunong dan pasukannya yang menewaskan Letnan De Cok dan 28 prajuritnya
serta 42 pucuk senapan diperoleh kaum muslimin. Selain itu pasukan Cut Meutia
juga sering menyabotase kerta api, penghancuran hubungan telepon hingga jalur
perhubungan untuk mengangkut logistik pasukan Belanda.
9
Januari 1903, Sultan bersama dengan Panglima Polem Muhammad Daud, Teuku Kumala
dan beberapa pemuka kerajaan lainnya telah menghentikan perlawanan terhadap
Belanda. Atas dasar tersebut Cut Meutia dan Teuku Chik Tunong pun juga ikut
turun tanggal 5 Oktober 1903. Kemudian mereka tinggal di Keureutoe tepatnya di
Jrat Manyang yang kemudian pindah ke Teping Gajah daerah Panton Labu atas
persetujan Komandan datasemen Belanda di Lhokseumawe.
Akhir
perjuangan Teuku Chik Muhammad atau Chik Tunong dengan Cut Meutia yaitu ketika peristiwa
di Meurandeh tanggal 26 Januari 1905. Pembunuhan pasukan patroli Belanda di
Meunasah Meurandeh Paya. Menurut penyelidikan Belanda bahwa Teuku Chik Tunong
terlibat dalam pembunuhan tersebut. Akhirnya Teuku Chik Tunong ditangkap dan
dihukum tembak mati. Sebelum mati, Teuku Chik Tunong memberikan wasiat kepada
sahabatnya untuk menjaga Cut Meutia dan putranya yaitu Teuku Raja Sabi. Hukuman
tersebut dilaksanakan pada bulan Maret 1905 di tepi Pantai Lhokseumawe dan
kemudian di jenazah Chik Tunong di makamkan di Masjid Mon Geudong.
2)
Bersama
Pang Nanggroe
Ketika
Cut Meutia ditinggal wafat oleh Teuku Chik Tunong, ia sedang hamil tua. Baru
setelah melahirkan ia mendapat kabar bahwa suaminya telah wafat ditembak mati
oleh Belanda. Keadaan Cut Meutia pada saat itu sedang sakit parah karena
kehabisan darah setelah melahirkan. Jadi perjuangan bersama Pang Naggroe
dilakukan setelah Cut Meutia sehat kembali seperti semula. Dalam proses
penyembuhan tersebut Pang Nanggroe juga menikahi Cut Meutia karena wasiat yang
telah diberikan oleh sahabatnya. Dengan perkawinannya, wanita ini bagaikan
meneruskan obor perlawanan kepada Nanggroe.[9] Beberapa
waktu kemudian keadaan Cut Meutia sudah
sehat dan siap untuk perang bersama suaminya melawan Belanda.
Di pihak Belanda mendatangkan pimpinan Marsuse
yang kejam dan tidak berperi kemanusiaan, namanya yaitu Kapitan Christoffel.
Pasukan Belanda diperkuat dan penjagaan disetiap pelosok yang selama ini
menjadi daerah pertempuran antara mereka dengan barisan muslimin[10].
Karena hal tersebut banyak umat muslimin yang syahid dalam peperangan. Namun
Pang Nanggroe tetap utuh dalam kepemimpinannya meskipun sedikit kenunduran.
Suasana
perjuangan kaum muslimin semakin terdesak karena pasukan Belanda yang dipimpin
oleh Christoffel. Siapa pun orang muslim yang ditemuinya langsung di tembak di
tempat. Namun Pang Nanggroe dan Cut Meutia tetap berada di garis depan untuk melawan
Belanda. Putranya selalu berpindah-pindah tempat sembunyi supaya tidak terjebak
oleh patroli marsuse.
Pada
siang hari dimana sedang duduk-duduk di suatu pondok, Pang Nanggroe, Cut Meutia
dan Teuku Raja Sabi beserta wanita dan laki-laki yang lain, tiba-tiba terdengar
bunyi tembakan dari musuh. Akhirnya mereka melarikan diri satu sama lain, ada
pula yang melepaskan tembakan kepada musuh. Pang Nanggroe dan Teuku Raja Sabi
tetap berada di tempat. Sedangkan Cut Meutia bersama kaum wanita yang lain ikut
berlari ke hutan dan mencari tempat yang lebih aman.
Saat
itu Pang Nanggroe, Teuku Raja Sabi dan beberapa pengikutnya yang masih bersama
mereka berhadapan melawan Belanda. Karena tenaga yang tidak seimbang antara
tentara Belanda dan pasukan Pang Naggroe akhirnya banyak yang gugur. Pang
Nanggroe juga akhirnya terkena peluru musuh. Peristiwa ini menurut catatan buku
“Peringatan 50 tahun marsuse” adalah pada tanggal 26 September 1910.[11]
Dalam
keadaan berlumuran darah, Pang Nanggroe memanggil putranya yaitu Teuku Raja
Sabi yang berada disampingnya. Beliau menyuruh untuk mengambil rencong yang ada
di pinggangnya dan ikat kepala yang dipakainya kemudian lari menyusul ibunya.
Setelah mengatakan hal tersebut kepada putranya tiba-tiba tiga orang musuh
mendekat. Tuaku Raja Sabi kemudian melarikan diri meninggalkan Pang Nanggroe.
Karena
bingung kemana Teuku Raja Sabi akan melarikan diri dan musuh semakin dekat,
akhirnya ia naik pohon dan berdiam disana beberapa waktu. Setelah musuh menjauh
ia turun dan berjalan ke tempat pondok yang ditinggali tadi. Disana ia bertemu
dengan beberapa teman. Teuku Raja Sabi menanyakan kepada mereka dimana ibunya.
Mereka menjawab ibunya sudah lari jauh dan mereka bersama Tuanku Raja Sabi akan
menyusulnya.
C.
Perjuangan Cut Meutia Melawan Belanda Sebagai Pemimpin Perang
Setelah
berjalan beberapa lama kemudian malam hari Teuku Raja Sabi bertemu dengan Cut
Meutia bersama rombongan yang lain. Pagi
harinya kaum muslimin yang bersama Cut Meutia dan Tuanku Raja Sabi sepakat
kepemimpinan perang digantikan oleh Cut Meutia dan beliau menerimanya dengan
syarat jika ia kurang sempurna agar cepat ditegur sehingga segala urusan dapat
berjalan dengan lancar. Alasan mereka para pengikut Cut Meutia memilih Cut
Meutia sebagai pemimpin menggantikan suaminya yang telah gugur tidak hanya
melihat Cut Meutia sebagai mantan istri seorang pejuang dengan pengalaman
berperang yang sudah cukup banyak tetapi juga semangat Cut Meutia yang sangat
besar dalam berjuang melawan pasukan Belanda walaupun dia seorang wanita. Jika
dikaitkan dengan tipe kepemimpinan menurut Max Weber, seorang Cut Meutia
termasuk tipe pemimpin karismatik karena pengalamanya dan semangatnya dalam
perang dapat mempengaruhi teman-teman dan pengikutnya untuk ikut berperang dan
pantang menyerah terhadap Belanda.
Setelah
selesai menentukan pemimpin perang, mereka lalu berencana untuk pindah ke Gayo.
Untuk pergi ke sana mereka harus keluar masuk hutan dan naik turun gunung.
Sampai akhirnya mereka sampai di tempat yang dangkal. Mereka beristirahat dan
menanak nasi untuk makan siang. Belum sempat mereka makan tiba-tiba datang
patroli musuh. Teuku Raja Sabi yang berada kira-kira seratus meter dari tempat
ibunya, mendengar teriakan bahwa musuh datang. Keadaan menjadi kacau. Diantara
mereka ada yang melarikan diri, ada pula yang tetap berada disana.
Cut
Meutia berusaha memanggil putranya sehingga ia lupa untuk melarikan diri.
Tuanku Raja Sabi dibawa oleh seorang muslimin dan secepat mungkin melarikannya.
Tinggalah Cut Meutia, Teungku Seupot Mata dan 15 orang lainnya. Perang mulai
terjadi antara pihak Belanda dan kelopok dari Cut Meutia. Dari peperangan
tersebut Cut Meutia terkena peluru di kakinya. Di saat genting itu ia juga
sempat membisikkan sesuatu kepada teman yang berada disampingnya yaitu Teungku
Syaikh Buwah bahwa ia diminta untuk mencari dan menjaga putranya dengan baik.
Kemudian Teungku Syaikh Buwah langsung pergi mencari Tuanku Raja Sabi. Cut
Meutia gugur karena terkena peluru pasukan Sersan W. J. Mosselman.[12]
Teungku Seupot Mata dan lima belas orang pengikutnya juga wafat dalam
pertempuran tersebut. Perjuangan Cut Meutia berakhir bersama dengan beberapa
pengikutnya yang menjadi korban pula.
Cut Meutia sebagai pelopor dan pemimpin
perjuangan mampu mengalahkan pasukan Belanda bersama dengan teman-teman dan
pengikut-pengikutnya walaupun pada akhirnya beliau dan banyak dari teman dan
pengikutnya gugur dalam peperangan. Namun yang patut di teladani adalah sikap
pantang menyerahnya yang sangat besar,
keberaniannya sebagai pemimpin perang dan pengatur strategi dan siasat
yang sangat cerdik.
Perjuangan
Cut Meutia bersama dengan pahlawan-pahlawan lain dalam melawan Belanda memang
sangat berat. Dengan alat perang yang sederhana dari pihak penduduk dan jumlah
pasukan yang tidak tentu besarnya mereka harus berhadapan dengan sekelompok
pasukan Belanda dengan senjata yang modern dan lengkap serta pasukan yang cukup
banyak dan kuat untuk dilawan. Beberapa kali mengalami kekalahan dan kehilangan
banyak pasukan namun tidak sedikit pula memenangkan perang dan merampas senjata
dari pihak Belanda yang kalah. Semangat mereka pantang menyerah untuk melawan
Belanda. Mereka tidak menginginkan tempat tinggal mereka dikuasai oleh Belanda.
Mereka berkata bahwa lebih baik mati syahid daripada harus menyerah kepada “kaphe”[13] Belanda.
BAB
IV
PENUTUP
Kesimpulan
Cut
Nyak Meutia adalah satu-satunya anak wanita dari lima bersaudara dari pasangan Teuku
Ben Daud Pirak dan Cut Jah. Perjuangan Cut Meutia dimulai setelah beliau
menikah dengan Teuku Chik Tunong atau Teuku Chik Muhammad. Beliau adalah
seorang yang pemberani dan cerdik. Setelah menikah dengan Teuku Chik Tunong
semangat Cut Meutia untuk menghadapi Belanda semakin Besar. Perjuangan mereka
berdua berhenti ketika Tuanku Chik Tunong ditangkap Belanda karena terlibat
pembunuhan pasukan Belanda. Setelah ditangkap Teuku Chik Tunong kemudian
dihukum mati. Sebelum mati, beliau memberikan wasiat kepada sahabatnya agar
menjaga Istrinya Cut Meutia dan Putranya yaitu Tuanku Raja Sabi.
Perjuangan
kedua Cut Meutia dilakukan bersama dengan suami keduanya yaitu Pang Nanggroe.
Walaupun ia tidak memiliki keturunan bangsawan namun keberaniannya cukup besar
dalam menghadapi Belanda hingga suatu hari patroli Belanda yang tidak diduga
datang ke tempat persembunyian mereka. Di sana lah kemudian Pang Nanggroe dan
beberapa pasukan yang bersamanya gugur. Cut Meutia pergi bersama para wanita
dan pasukan lain untuk menyelamatkan diri.
Perjuangan
Cut Meutia belum berhenti. Setelah Cut Meutia diangkat sebagai pemimpin perang,
mereka melanjutkan perjalanan ke Gayo. Di tengah perjalanan saat mereka
istirahat, tiba-tiba datang pasukan patroli Belanda. Cut Meutia bersama beberapa
pasukan yang masih ada melawan pasukan tersbut. Dalam situasi tersebut pula
beliau meminta teman yang berada disampingnya untuk mencari putranya dan
menjaganya. Kemudian gugurlah Cut Meutia dalam perlawanan tersebut bersama
dengan beberapa pengikutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Adenrabani.
2013. Pengertian Kepemimpinan, Tipe-tipe
Kepemimpian dan Teori-teori Kepemimpinan. dikutip dari laman http://adenrabani.wordpress.com/2013/11/13/pengertian-kepemimpinantipe-tipe-kepemimpinan-teori-teori-kepemimpinan/,
waktu akses 15 november 2014 pukul 06.40 WIB.
Ibrahim,
Alfian. 1987. Perang di Jalan Allah:
Perang Aceh 1873-1912. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Ismail,
Yakub. 1879. Cut Meutia: Pahlawan
Nasional dan Putranya. Semarang: CV. Faizan.
KBBI
(versi online/ dalam jaringan). 2012. Juang.
Dikutip dari laman “http://kbbi.web.id/juang”,
waktu akses 4 januari 2105 pukul 22.26 WIB.
Paul,
Van ‘T veer. 1985. Perang Aceh: Kisah
Kegagalan Snouck Hurgronje. Jakarta: Grafiti Pers.
Putra
Wahyuza. 2011. Pendekatan Sejarah 2. Dikutip
dari laman “ http://putrawahyuza.blogspot.com/2011/10/1-pendekatan-sejarah-2-pendekatan.html,
waktu akses 2 November 2014 pukul 22.47 WIB.
Yudi,
Setianto. 2011. Konsep Perjuangan Dalam
Dimensi Sejarah Nasional Indonesia. dikutip dari laman “https://asosiasiwipknips.wordpress.com/2011/10/24/konsep-perjuangan-dalam-dimensi-sejarah-nasional-indonesia/”,
waktu akses 4 Januari 2015 pukul 23.01 WIB.
Zuheimi
Aceh. 2010. Cut Nyak Meutia. Dikutip
dari laman” http://zuheimiaceh.blogspot.com/2010/11/cut-nyak-mutia.html”, waktu akses tanggal 2 November 2014 pukul
20.00 WIB.
[1]Putra
Wahyuza. Pendekatan Sejarah 2. Dikutip
dari laman “ http://putrawahyuza.blogspot.com/2011/10/1-pendekatan-sejarah-2-pendekatan.html”.
Tahun 2011. Waktu akses 2 November 2014 pukul 22.47 WIB.
[2] KBBI
(versi online/ dalam jaringan), Juang,
dikutip dari laman “http://kbbi.web.id/juang”.
Tahun 2012. Waktu akses 4 januari 2105 pukul 22.26 WIB.
[3] YudI,
Setianto, Konsep Perjuangan Dalam Dimensi
Sejarah Nasional Indonesia, dikutip dari laman https://asosiasiwipknips.wordpress.com/2011/10/24/konsep-perjuangan-dalam-dimensi-sejarah-nasional-indonesia/”.
Tahun 2011, waktu akses 4 Januari 2015 pukul 23.01 WIB.
[4] Ibid,.
[5] Ibid,.
[6]
Adenrabani, Pengertian Kepemimpinan,
Tipe-tipe Kepemimpian dan Teori-teori Kepemimpinan, dikutip dari laman
”http://adenrabani.wordpress.com”, tahun 2013, waktu akses 15 november 2014
pukul 06.40 WIB.
[7] Ulee
balang adalah golongan bangsawan dalam masyarakat Aceh yang memimpin sebuah
kenegerian atau nanggroe, yaitu wilayah setingkat kabupaten dalam struktur
pemerintahan Indonesia sekarang.
[8] Zuheimi
Aceh, Cut Nyak Meutia. Dikutip dari
laman “Sejarah Aceh CUT NYAK MUTIA.htm”.
diakses tanggal 2 November 2014, pukul 20.00 WIB.
[9] Paul Van
‘T Veer. Perang Aceh: Kegagalan Snouck Hurgronje. Jakarta: Grafiti Pers. 1985.
Hlm: 221.
[10] Ismail,
Yakub. Cut Meutia Pahlawan Nasional dan
Putranya. Semarang: CV. Faizan. 1979. Hlm: 61.
[11] Ibid,
hlm: 62.
[12] Ibrahim
Alfian, Perang di Jalan Allah: Perang
Aceh 1873-1912. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1987. Hlm: 215.
[13] Kaphe berarti kafir, yaitu sebutan
orang-orang Aceh kepada Belanda.
Komentar
Posting Komentar