Lahirnya masyarakat muslim pasti tidak lepas dari kota
Makkah, Madinah dan penyebaran Islam yang dilakukan oleh Rasulullah SAW.
Kali ini kami akan memaparkan tentang
terbentuknya masyarakat muslim menurut buku yang kami jadikan rujukan.
Penjelasan
tentang lahirnya masyarakat muslim berawal dari
pernyataan Snouck Hurgronye yang berbunyi: ‘Pada awal mulanya Muhammad
meyakinkan kepada orang-orang Arab bahwa ia menyampaikan (risalat) yang sama
seperti yang diterima orang-orang Kristen dari Yesus, orang-orang Yahudi dari
Musa, dan lain-lain sebagainya. Dan untuk menentang orang-orang Arab Jahiliyah
dengan begitu saja ia menyebutkan “orang-orang berilmu...” kepada siapa mereka
harus bertanya untuk meyakini kebenaran ajaran-ajarannya. (Tetapi ketika) di
Madinah ia mengalami kekecewaan : “Ahli-ahli kitab” tidak mau mengakuinya. Oleh
karena itu ia mengusahakan otoritas untuk dirinya yang diluar pengendalian
mereka, dan yang sekaligus tidak bertentangan dengan wahhyu-wahyunya yang
semula. Ia pun berpaling kepada nabi-nabi di zaman dulu karena kaum-kaum para
nabi ini tidak dapat menbantahnya (kaum-kaum yang tak ada atau yang sudah tidak
ada, seperti kaum-kaum Ibrahim, Nuh, dan lain-lain sebagainya). (Di kutip di
dalam Geschichte des Qorans, New
York: 1970, bagian I, hal. 146-147).[1]
Dari
pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa agar kita dapat menerima: Pertama,
ketika orang-orang Yahudi dan Kristen Madinah menolak menerima Muhammad sebagai
Nabi, beliau mulai menonjolkan Ibrahim yang dikatakan bukan Yahudi maupun
Kristen melainkan Islam yang mempunyai hubungan dengan kaum muslimin. Kedua, saat
di Makkah nabi Muhammad yakin bahwa ajaran yang beliau sampaikan kepada
orang-orang Arab adalah ajaran dari nabi-nabi terdahulu kepada kaum mereka
masing-masing. Teori tersebut meluas dengan puncaknya yaitu Nasionalisasi atau
Arabisasi dengan memindah arah kiblat yang awalnya di Yerussalem menjadi di
Makkah dan menetapkan ziarah ke Makkah sebagai salah satu rukun Islam.
Beberapa
fakta yang terdapat dalam teori tersebut memang tidak salah. Namun, fakta-fakta
tersebut tidak mewakili keseluruhan teori karena tidak semua teori tersebut
relevan. Karena tidak relevan itulah maka menimbulkan pemahaman yang berbeda
pula. Benar jika Al Qur’an memiliki risalat yang sama dengan risalat nabi-nabi
terdahulu tapi tidak benar jika Al Qur’an hanya untuk orang-orang Arab dan
risalat-rasalat nabi-nabi terdahulu hanya untuk kaumnya masing-masing. Tidak
benar pula jika Ibrahim dihubungkan dengan Islam. Al Qur’an menyerahkan Musa
untuk orang Yahudi dan Isa untuk orang Kristen karena tentangan mereka. Begitu
pula dengan berubahnya arah kiblat yang menunjukkan nasionalisasi terhadap orientasi religius
Nabi Muhammad.
Dari
keterangan-keterangan Al Qur’an dapat diketahui bahwa sebelum datangnya agama
Islam, sebagian masyarakat Makkah menginginkan agama baru seperti Yahudi dan
Kristen. “Seandainya kita memperoleh peringatan dari zaman dahulu tentu kita
telah menjadi hamba-hamba Allah yang tulus, namun mereka mengingkarinya (setelah
peringatan itu datang).” (Surat As-Shaffat: 168-170).
Keadaan
ini terjadi karena masuknya ide-ide atau ajaran-ajaran dari Yahudi dan Kristen
yang semakin menyebar di Arab. Hal ini memandakan bahwa di Makkah telah terjadi
demam religius yang dialami oleh individu-individu atau kelompok tertentu yang
telah memperoleh keterangan. Biarpun hanya sedikit bukti historis yang
menerangkan Yahudi dan Kristen telah
masuk dan berkembang di Makkah namun dari keterangan tersebut membuktikan bahwa
telah ada pada diri orang-orang Makkah yaitu sifat monotheisme. Tetapi yang
sering dikemukakan dalam Al Qur’an yaitu tentang hasrat adanya nabi baru dari bangsa Arab. “Dan mereka
bersumpah atas nama Allah dengan sungguh-sungguh bahwa jika datang kepada
mereka seorang pemberi peringatan, niscaya mereka akan lebih mendapat petunjuk
dari salah satu umat-umat yang lain. Tetapi ketika pemberi peringatan datang
kepada mereka, tidak menambah (apa-apa) kepada mereka, bahkan semakin jauh
mereka dari kebenaran.” (Surat Fathir: 42)[2]. Ayat
lain yaitu Surat Al Qashash: 47-49 juga menerangkan tentang orang-orang Makkah
yang menginginkan seorang rasul tetapi setelah datang mereka malah tidak mengakuinya, bahkan
menganggapnya tukang sihir.
Dari
beberapa ayat di atas, memang masih ada bantahan-bantahan antara orang Makkah
dan Nabi Muhammad, jadi susah untuk menentukan seperti apa sikap masyarakat
Makkah sebelum datangnya Nabi Muhammad. Walaupun demikian, setidaknya masih ada
orang Makkah yang menginginkan agama dan kitab suci baru dan mereka juga tidak
ingin menerima kitab-kitab suci terdahulu. “Jika kami menurunkan Al Qur’an
kepada seseorang Ajam (bukan orang Arab) dan kemudian membacakannya kepada
mereka niscaya mereka tidak mempercayainya (Al Qur’an).” (Asy-Syu’ara: 198-199)
Kemudian: “Jika kami membuat Al Qur’an dengan bahasa Ajam (bukan bahasa Arab)
niscaya mereka akan berkata: ‘Mengapa ayat-ayatnya tidak jelas? Apakah bedanya
Ajam dan Arab? Katakanlah: ’Inilah sebuah petunjuk dan obat penyembuh bagi
orang-orang beriman.” (Fushshilat: 44)
Pendapat
dari buku yang saya jadikan rujukan mengatakan bahwa Al Qur’an yang berbahasa
Arab tidak hanya memperlihatkan tentang bahasa dan nasionalisme tapi juga sulit
di jabarkan. Orang-orang Arab mungkin juga memiliki pandangan yang kurang jelas
tentang Al Qur’an. Dari bantahan-bantahan yang ditujukan kepada Nabi Muhammad
jelas bahwa orang-orang Makkah menginginkan posisi untuk tuhan-tuhan mereka di
antara Allah dan manusia. Hal ini membuktikan bahwa orang-orang Arab tidak
menerima Yahudi dan tidak memandang Yesus lebih tinggi dari tuhan-tuhan mereka.
Selanjutnya
kita akan berbicara tentang Nabi Muhammad dengan seruannya yang sama dengan
nabi-nabi sebelumnya. Surat Al A’la: 18-19 dan surat An Najm: 33-37, tidak
banyak menerangkan tentang orang-orang Arab yang telah memiliki profetologi.
Dimana kata “kitab” yang berarti kumpulan wahyu Allah, disini dimaksudkan
sebagai “pola dasar” atau laporan tingkah laku manusia yang akan diterima
manusia saat hari kiamat. Kemudian “kitab diartikan sebagai “kitab Musa” yaitu
kitab yang mendahului Al Qur’an. Al Qur’an menyebutkan tokoh-tokoh keturunan
Arab (nabi-nabi, ksum ‘Ad dan Tsamud) disamping tokoh perjanjian lama. Tapi Isa
dan tokoh perjanjian baru tidak banyak disebut padahal Kristen pada saat itu
telah meluas dan banyak di Makkah. Justru yang lebih banyak disebut adalah
“Kitab Musa”. Hal ini memang belum mendapat jawaban yang memuaskan tapi
kesimpulannya adalah bahwa Nabi Muhammad selama empat tahun menjadi nabi,
beliau hampir tidak mengetahui kitab-kitab sebelumnya.
Ketika
ajaran para nabi terdahulu yaitu percaya pada Tuhan Yang Esa, memberi
kesempatan orang miskin untuk maju, adanya hari pengadilan dan mulai adanya detail-detail tentang
nabi-nabi terdahulu yang diulang-ulang dalam Al Qur’an, tidak dapat diragukan
lagi bahwa Nabi Muhammad telah mendapat cerita-cerita dari orang-orang tertentu
dengan identifikasi yang tidak dapat ditemukan lagi. Walaupun begitu Nabi
Muhammad tetap bersikeras bahwa kisah-kisah tersebut telah diwahyukan oleh
Allah SWT.
Memang
benar jika Nabi Muhammad langsung membuat kisah-kisah tersebut karena beliau
juga langsung mengalami kehidupan bersama dengan beberapa nabi yang lain dan
beliau pasti melihat dan merasakan apa yang terjadi saat bersama menjalani
hidup dengan nabi-nabi yang lain, dapat dibaca pada surat Al Qashash: 44-45.
Karena
adanya persamaan spiritual antara Nabi Muhammad dengan para nabi terdahulu,
Muhammad yakin dengan keidentikan risalat yang beliau sampaikan dengan
risalat-risalat para nabi terdahulu dengan bersumber pada kitab-kitab lama yang memiliki satu sumber atau pola dasar
yaitu “Ibu Semua Kitab” dan “Kitab Yang Tersembunyi”. Maka dari itu manusia
diwajibkan untuk percaya kepada semua kitab Allah, yang dibuktikan dengan Allah
menyuruh Nabi Muhammad untuk menyatakan : “Katakanlah: ‘Aku mempercayai setiap
kitab yang telah di wahyukan Allah’.” (Surat As Syura: 15).
Dalam
Al Qur’an dijelaskan bahwa Al Qur’an telah disebut dalam kitab-kitab terdahulu.
“Tidakkah menjadi pertanda bagi mereka (orang-orang Makkah) tersebut bahwa ia
(Al Qur’an) diketahui oleh putra-putra Israel yang memiliki pengetahuan?”[3] Dikemukakan
berulangkali dalam Al Qur’an sebagai saksi terhadap kebenaran Nabi Muhammad
karena mereka telah menerima Kitab atau pengetahuan, atau orang-orang yang
telah menerima pengajaran. Bahkan ketika Nabi Muhammad yang saat itu sedang
mengalami hidup yang sangat sulit, bimbang dengan pilihannya yang akan
menghentikan atau meneruskan perjuangannya, Al Qur’an menyuruh beliau untuk
menghibur diri dan dukungan dari “orang-orang yang membaca kitab (yang
sebelumnya)” (Surat Yunus: 94), dan tidak berpihak kepada orang-orang syirik
setelah mendapat “tanda-tanda yang jelas” dari agama Allah yang tidak
dikehendakinya itu (Al Qashash: 85-88).
Karena
Allah adalah Esa dan risalahnya juga satu dan tidak dapat dipisah-pisah
(seharusnya memang satu kaum), maka Nabi Muhammad berencana menyatukan
masyarakat menurut ajarannya dan persyaratannya. Tetapi setelah semakin
bertambah pengetahuannya tentang agama-agama lain, rencana menyatukan
masyarakat urung dilaksanakan. Masalah teologi tersebut sangat penting dan
sering disebut dalam ayat-ayat Al Qur’an hingga periode Madinah. Tapi yang
paling penting adalah dampak dari persepsi Nabi Muhammad terhadap perkembangan
masyarakat Muslim.
Ide
yang tercipta untuk membentuk masyarakat muslim tidak tercipta di Madinah,
namun sudah ada sejak di Makkah tapi tidak diketahui siapa saja yang terlibat
didalamya karena Al Qur’an juga tidak menjelaskan nama-namanya. Adanya
pertentangan antara Nabi Muhammad dan orang-orang Makkah menunjukkan bahwa
adanya perbedaan agama-agama tersebut dengan Islam, para penganut agama-agama
tersebut disebut al-ahzab
(orang-orang yang memecah belah agama).
Pada periode Makkah ketiga, maksud dari al-ahzab adalah kaum-kaum sebelum zaman
Nabi Muhammad, sangat memungkinkan perkataan tersebut memiliki dua arti, yaitu:
sekte-sekte yang timbul karena perpecahan mengenai risalat-risalat terdahulu
dan perpecahan diantara kelompok –kelompok yang menentang risalat Muhammad.
Perkataan ahzab telah lama
dipergunakan yaitu pada periode Madinah (Surat Al Ahzab: 20-22), disini ahzab
berarti partai-partai dan suku-suku (Quraisy, Badawi, Yahudi) yang berserikat
untuk menyerang Madinah pada saat “Perang Parit”.[4]
Beberapa perkembangan penting juga terjadi di Madinah.
Salah satunya yaitu Al Qur’an tidak
memandang Musa sebagai milik Yahudi dan Isa sebagai milik Kristen dan tidak
pula Ibrahim sebagai milik kaum muslimin. Di Madinah Isa dan Musa juga dinaggap
penting, hampir sama dengan di Makkah. Karena di Madinah wahyu-wahyu yang
terdahulu juga dianggap penting dan Al Qur’an pun juga membenarkan adanya
kitab-kitab terdahulu, yaitu Taurat dan Injil (disebutkan namanya). Jika di
Makkah, Kitab Injil sangat jarang di sebut/ disinggung walaupun Isa dan
tokoh-tokoh Perjanjian Baru serta para pengikutnya telah ada di Makkah saat
itu. Sedangkan wahyu Allah kepada Musa
sering disebut “Kitab Musa” dan berulang-ulang disebut dalam pendahulu Al
Qur’an.
Beberapa perkembangan penting lain yang terjadi di
Madinah yaitu pengakuan adanya tiga kaum yang berdiri sendiri-sendiri yaitu
kaum Yahudi, Kristen dan Muslim. Di Makkah menggunakan istilah ahzab atau syiya’ (sekte-sekte dan aprtai-partai). Di Madinah istilah-istilah
tersebut diganti dengan ummah atau
istilah kolektif dari “Ahli-ahli Kitab” (ahl
kitab) yang memiliki hukum-hukumnya sendiri. Walaupun begitu, kaum muslimin tetap sebagai ummah (kaum) “ideal”, atau “yang
terbaik” (khoir ummatin), “ummah
penengah” (ummah wasat) yang tidak
seperti ummah-ummah lain yang suka berpihak.
Pembahasan terakhir yaitu tentang peranan Ka’bah dan Haram yang berhubungan dengan haji dan
kiblat. Pernyataan dari Noldeke-Schwally yang menyatakan bahwa setelah surat
106 yang mula-mula diturunkan Al Qur’an sama sekali tidak pernah menyinggung
tentang Ka’bah.[5]
Memang benar jika perkataan Ka’bah tidak pernah digunakan di Makkah tapi salah
jika Ka’bah tidak pernah mendapat perhatian dari Nabi Muhammad sebelum Ka’bah
dijadikan sebagai tempat wajib ziarah seluruh umat Islam.
Nabi Muhammad juga ikut malakukan ziarak ke Makkah hingga
beberapa tahun terakhirnya di sana. Bahkan beliau berniat untuk menganti
aturan-aturan/ ritual-ritual tertentu dalam ziarah tersebut. Tapi karena
banyaknya oposisi terhadap beliau di Makkah maka diperlukan suatu kontrol
politik terhadap situasi di Makkah. Akhirnya beliau hijrah ke Madinah dengan
tujuan memaksa Makkah agar menerim Islam yang jelas terlihat pada perjanjian
“Pakta Peperangan” (terhadap Makkah). Setelah satu tahun beliau berada di
Madinah, Ka’bah resmi menjadi tempat ziarah suci kaum Muslimin.
Tetapi berkenaan dengan kiblat, kontinuitas tersebut ada
di Yerussalem, bukan di Ka’bah. Seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Ishaq:
Pemilihan Yerusaalem sebagai arah kiblat tidak di lakukan Muhammad di Madinah,
tetapi beberapa tahun sebelumnya di Makkah.[6] Menurut
penulis dari buku yang kami jadikan rujukan yaitu sangat mungkin dikarenakan
penganiayaan yang dilakukan oleh orang-orang Makkah terhadap orang-orang Muslim
yang tidak diizinkan berziarah ke Masjidil Haram pada tahun-tahun awal
pekembangan Islam.
Setelah hijrah ke Madinah, Yerussalem tetap menjadi arah
kiblat kaum muslimin. Jadi pemindahan arah kiblat telah dipraktekkan terlebih
dahulu. Tapi tidak untuk tempat ziarah umat Islam yang harus menunggu hingga
Ka’bah menjadi pusat gravitasi umat Islam. Mungkin selalu ada
pertentangan-pertentangan antara orang Yahudi Madinah. Ketika orang-orang
Yahudi tidak ingin masuk Islam mereka diakui sebagai kaum yang berdiri sendiri
dengan persyaratan kaum Yahudi tidak akan membantu musuh Islam dalam
peperangan. Karena mereka mengingkari persyaratan tersebut mereka diusir dan di
serang. Proses pengajakan kaum Yahudi masuk Islam dan pengakuan terhadap kaum
mereka yang berdiri sendiri dilalui dengan bersamaan bukan dengan periode yang
beruntun. Dari beberapa fenomena tersebut yang menyebabkan putusnya orang-orang
Yahudi masih menimbulkan tanda tanya. Saat ini orang-orang Yahudi masih terusir
dari Madinah mereka dan kaum Kristen masih di cela dalam Al Qur’an yang
bersifat religius.
[1] Fazlur,
Rahman, Tema Pokok Al Qur’an,
(Bandung: Pustaka, 1996)., hal. 194.
[2]
Departemen Agama RI, Al Qur’an dan
Terjemahannya, (Bandung: CV. Diponegoro, 2006).
[3] Fazlur,
Rahman, Tema Pokok Al Qur’an,
(Bandung: Pustaka, 1996)., Hal. 202.
[4] Fazlur,
Rahman, Tema Pokok Al Qur’an,
(Bandung: Pustaka, 1996)., Hal. 204-205.
[5] Fazlur,
Rahman, Tema Pokok Al Qur’an,
(Bandung: Pustaka, 1996)., Hal. 211.
[6] Fazlur,
Rahman, Tema Pokok Al Qur’an,
(Bandung: Pustaka, 1996)., Hal. 213.
Komentar
Posting Komentar