BAB
I
PENDAHULUAN
Perkembangan
di Indonesia pada abad ke-19 dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : Adanya
pengaruh dari Arab yang dibawa oleh para Ulama dan Haji yang mencari ilmu agama
disana sambil melakukan ibadah haji. Pengaruh lain yaitu ikut campurnya pihak
asing seperti Belanda dalam urusan intern suatu kerajaan. Kemudian beberapa
pengaruh lain yang memiliki kontribusi terhadap kemunduran atau kemajuan yang
terjadi di Indonesia.
Abad
ke-19 di Indonesia ditandai dengan munculnya beberapa gerakan pemberontakan
yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia di beberapa wilayah dalam rangka
melawan dan mengusir penjajah dari Indonesia. Kemajuan dalam bidang agama
seperti lebih banyaknya orang-orang yang masuk Islam terjadi sekitar akhir abad
ke-19. Pembahasan akan dilanjutkan lebih mendalam di bab selanjutnya.
Beberapa
masalah yang dirumuskan antara lain:
1. Apa
saja peristiwa yang terjadi di Indonesia pada abad ke 19?
2. Seperti
apa aspek sosial politik pada saat itu?
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pangeran
Diponegoro.
Pangeran Diponegoro
lahir pada tahun 1785. Putra tertua Sultan Hamengkubuwono III (1811-1814) namun
tidak diangkat sebagai Sultan untuk menggantikan ayahnya, karena :
1) Ibu
dari Diponegoro adalah bukan dari golongan bangsawan.
2) Pemerintah
Belanda tidak menyetujuinya, dan lebih memilih adiknya.
Bahkan
setelah Sultan Hamengkubuwono IV meninggal, Diponegoro tidak terpilih menjadi
sultan, justru yang terpilih adalah adiknya yang masih sangat muda. Akhirnya
Diponegoro hanya diangkat menjadi wali dari sultan yang masih berusia tiga
tahun tersebut dengan tiga orang lainnya. Saat menjadi wali pun pendapat
Diponegoro tidak terlalu berpengaruh.
Pada
tahun 1825 dibangun jalan baru yang melewati sebagian istana Diponegoro yaitu
di desa Tegalrejo tanpa persetujuan dari Diponegoro tersebut sehingga
membuatnya marah. Hal tersebut menjadi pemicu bagi Diponegoro untuk melakukan
pemberontakan terhadap pemerintah Yogyakarta dan terhadap pengaruh Belanda.
b. Sebab-sebab
Perang Jawa.
Beberapa sebab
terjadinya perang Jawa antara lain :
1) Pihak
Belanda banyak mengambil alih daerah kesultanan Yogyakarta.
2) Orang
Tionghoa diberikan kesempatan untuk memungut pajak, khusus pajak jalan pada
pintu tol.
3) Adanya
kekurangadilan dalam masyarakat Jawa khususnya pemerintahan pada awal abad
ke-19.
4) Adanya
bermacam-macam intrik di Istana Keraton Yogyakarta.
5) Praktek
sewa perkebunan secara besar-besaran kepada Belanda yang menyebabkan pengaruh
Belanda makin lama makin membesar.
6) Kerja
Paksa tidak hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja namun juga untuk
kepentingan Belanda.
c. Unsur
Agama dalam Perang Jawa.
P.J.F. Louw pensiunan
tentara Belanda dan E.S. Klerk pada akhir abad ke-19 menulis riwayat perang
Jawa ini dalam enam jilid, antara lain mengemukakan bahwa para pemimpin agama,
kyai atau guru berhasil menyumbangkan massa yang cukup besar, yang menganggap
agama sebagai alat bukan sebagai tujuan. Kelompok ini mampu mengobarkan
semangat yang sangat tinggi pada awal pemberontakan. Namun semangat tersebut
tidak bisa mengikat pengikut-pengikutnya lebih lama karena jimat yang digunakan
tidak ada gunanya. Pengikut yang berada di garis depan perlawanan menjadi
korban tembakan pertama dari Belanda. Jadi
, perang sering disalahgunakan oleh pemimpin yang hanya mencari pengikut bukan
bukan demi kepentingan agama.
d. Pendidikan
Diponegoro dalam Bidang Agama.
Pengertian tentang Pangeran Diponegoro
dalam bidang agama dikemukakan semacam otobiografi yang disusun oleh Pangeran
Diponegoro sendiri dalam masa pembuangan, sekarang disebut Babad Diponegoro.
Karangan ini cukup menguraikan bahwa Diponegoro cukup aktif belajar di beberapa
pesantren walaupun tidak memberikan data lengkap tentang pendididkan tersebut.
e. Hubungan
kaum “Santri” dan kaum “Priyayi” Dalam Perang.
Pangeran Diponegoro
sebenarnya mendapatkan dukungan dari pihak priyayi yaitu Kyai Maja, seorang
ulama terkenal dari Surakarta. Tidak berapa lama kemudian timbul berbagai
masalah diantara mereka yang akhirnya kerjasama antara kedua tokoh ini gagal.
Ibu Diponegoro adalah
anak dari Kyai yang berasal dari Tembayat dan pengasuhnya di Tegalrejo adalah
anak Kyai dari Sragen, sedangkan adiknya belajar kepada Kyai Taftayani (Carey
1974, 273). Diponegoro berusaha mengembangkan ilmu agamanya namun analisanya
belum seperti kaum modernis dan nasionalis abad ke-20. Pikirannya masih
bercampur dengan pikiran tentang Ratu Adil, dan para pengikutnya. Diponegoro
menyebut dirinya “Sultan Ngabdulkamid Herucakra Kabirulmukminina Kalifatul
Rasulullah Hmengkubuwono Senapati Ingalaga Sabilullah ing Tanah Jawa”.
a. Perang
Intern Beralih Menjadi Perang Melawan Belanda.
Tahun 1803 tiga orang
haji yaitu Haji Sumanik, Haji Miskin dan Haji Piobang pulang dari Makkah.
Setibanya dari Makkah mereka mulai melarang bermacam-macam kejahatan dan
tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam sebenarnya, seperti sabung ayam,
judi, minum minuman keras dan pakaian wanita yang tidak menutup aurat. Gerakan
tersebut mendapat tentangan dari Kaum Adat. Akhirnya antara Kaum Paderi dan
Kaum Adat terjadi perlawanan pertama di kota Lawas.
Saat Raffles memerintah
di Padang tahun 1818, Kaum Adat memintan bantuan kepadanya untuk membantu
melawan Kaum Paderi. Namun belum sempat membantu Kaum Adat, pemerintahan
Raffles sudah digantikan oleh Belanda. Setelah Kaum Adat mengadakan perjanjian dengan
Belanda, akhirnya Belanda mulai menyerang Kaum Paderi. Perlawanan-perlawanan
dilakukan oleh Kaum Paderi terhadap Belanda dan Kaum adat. Setelah berapa lama
muncul Tuanku Nan Tuo yang terkenal moderat dan berusaha mencari perdamaian
antara kaum Adat dan kaum Paderi. Dan Ternyata cukup banyak yan mengikuti jajak Tuankuu Nan Tuo.
Tahun 1825-1830 terjadi pemberontakan di Jawa yang memerlukan seluruh tenaga
militer Belanda, maka dalam masa ini tidak terjadi serangan dari pihak Belanda.
Tahun 1831 Belanda
kembali melakukan serangan. Dari peperangan ini muncul pemimpin yang keras dari
kelompok Paderi yaitu Tuanku Tambusai, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Damasiang dan
Tuanku nan Cerdik. Namun tahun 1833 Tuanku nan Cerdik menyerah dan tahun 1844
Tuanku Imam bonjol menyerah pula. Sedangkan Tuanku Tambusai terus melanjutkan
perlawanannya selama beberapa tahun dan kalah pada tahun 1838. Dengan demikian
Belanda menang dan Sumatra Barat menjadi daerah kekuasaannya.
b. Gerakan
Paderi Sebagai Gerakan Reformis.
Kenyataan bahwa gerakan
Paderi merupakan gerakan reformis masih banyak diperdebatkan oleh beberapa
orang. DR. Karel Steenbrink sendiri masih sulit untuk menetukan pada periode
mana munculnya gerakan ini sebagai gerakan reformis atau pemurnian dalam agama.
Wertheim (1978, 57) dengan jelas menerapkan metode sosiologi dalam
menggambarkan corak reformisme kaum Paderi. Seorang ahli yang pertama kali
mengemukakan hipotesa tentang pengaruh Wahhabi adalah Dr. Pieter Jan Veth
(1814-1895). Hipotesanya yaitu adanya persamaan antara Paderi dengan kaum
Wahhabi, yaitu dalam hal penggunaan metode kekerasan dalam mencapai tujuan.
Tetapi hipotesa tersebut si tolak oleh Schrieke (1973, 17) dengan beberapa
alasan yaitu :
1) Kaum
Paderi tidak menetang ziarah kubur seperti pengaruh Wahhabi
2) Kaum
Paderi amat menghormati Nabi Muhammad SAW antara lain dengan merayakan Maulid
Nabi secara meriah.
3) Sistem
pemerintahan Minangkabau bersifat desentralisasi sedangkan sistem pemerintahan
Wahhabi bersifat sentralisasi.
Pendapat
lain tentang reformis juga dikemukakan oleh Steijn Parve bahwa Haji Miskin
adalah tokoh pertama yang memberikan dorongan reformasi walaupun akhirnya
beliau tidak mempunyai peranan penting. Jalaluddin juga berpendapat sama.
c. Sumber
Primer Lain.
Naskah lama ditemukan oleh
Van Ronkel di Kota Bonjol yang berisi tentang riwayat gerakan “Paderi” di bawah
Bonjol yang ditulis oleh Imam Bonjol sendiri yang kemudian dilanjutkan oleh
anaknya. Naskah tersebut menjelaskan bahwa para pemimpin Paderi juga empat
tuanku dari Bonjol selalu menetapkan hari yang baik untuk usaha-usaha penting
menurut perhitungan pada zaman dulu. Selalu melakukan ramalan langkah pada saat
akan berangkat. Dalam nasehat terakhir kepada anaknya sebelum menyembunyikan
diri dari tentara Belanda Imam Bonjol antara lain menganjurkan anaknya agar
mencari hikmah para ulama, yang mengetahui mana yang haram dan mana yang halal,
dan menaati perintah penhulu adat. Kalau perintah itu mustahil dipatuhi, maka
perintah itu salah. Namun jika perintah itu secara fisik bisa ditaati berarti
perintah itu sah.
Tahun
1785 terjadi perselisihan mengenai pergantian Sultan Muhammad. Pangeran Nata
yang diangkat menjadi wali anak Sultan Muhammad ternyata justru menhangkat
dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II (1785-1808). Lalu Pangeran Amir yang
berhak jadi sultan dan para pengikutnya diusir dengan menggunakan kekuatan
Belanda. Pada Masa Sultan Sulaiman (1808-1825) pihak Belanda turut pula
menumpas pemberontakan terhadap Sultan Sulaiman dengan imbalan menerima wilayah
tambahan.
Pada
tahun 1825-1857 Sultan Adam naik tahta, kemudian mengangkat puteranya dari
selir keturunan bangsawan yaitu Pangeran Hidayat menjadi patih. Setelah Sultan
Adam Wafat, Pangeran Hidayat tidak menggantikan ayahnya, justru Belanda memilih
putera Sultan dari selir non-bangsawan yang kemudian di beri gelar Sultan
Tamjidullah II (1857-1860). Tamjidullah mengangkat beberapa perampok untuk
dijadikan sebagai kepala daerah yang menimbulkan keresahan masyarakat dan
perlawanan sengit dari Pangeran Hidayat.
Perlawanan
terhadap Sultan Tamjidullah dan Belanda dilakukan tidah hanya dari kalangan
bangsawan namun juga dari masyarakat biasa, diantaranya :
1) Pangeran
Hidayat
2) Pangeran
Antasari, cucu dari Pangeran Amir yang gagal menerima tahta kerajaan pada tahun
1785. Ibunya adalah anak dari Sultan Sulaiman. Pada akhir tahun 1850-an
Antasari hidup sangat sederhana di sebuah desa dekat Martapura. Tanggal 14
Maret 1862 ia diberi gelar Pemimpin Tertinggi Agama dan “Panembahan Amiruddin
Khalifatul Mukminin”. Ia wafat 11 November 1828 yang kemudian digantikan oleh
putranya Muhammad Seman (1862-1905).
3) Orang-orang
yang tidak memperoleh keadilan pada masa pemerinyahan Tamjidullah II dan
sebelumnya.
4) Beberapa
haji dan pedagang kaya yang dirugikan karena pengaruh Bekanda makin lama makin
meluas.
Peran
penting agama juga terbukti dalam beberapa peristiwa, yaitu :
1) Sesudah
Antasari diangkat sebagai Sultan, ia diberi gelar bercorak keagamaan yang
berarti sebagai pembela agama.
2) Pemberontakan
pertama terhadap Tamjidullah II terjadi di daerah Batang Balangan. Di Masjid
Batang Balangan di jumpai selebaran yang sudah di baca oleh seorang penghulu
atau kepala desa yang bernama A. Gani.
3) Awal
Maret 1859, terjadilah peristiwa penobatan "Sultan Kuning” yang terjadi di
daerah Muning, sekitar 15-16 jam perjalanan ke utara Martapura. Sultan Kuning
adalah putra dari Aling atau Panembahan Muda.
4) Oktober
1861 Pemberontakan terhadap Belanda berkembang kembali di daerah Amuntai yang
dipimpin oeh seorang penghulu bernama Abdul Rasyid. Sedangkan golongan dari
Abdul Rasyid sendiri bernama “Beratib Beamal” atau “Beratib Beilmu”, karena
mendapat ilmu kebal adalah maksud utama dari praktek wirid mereka.
a. Jihad
di Cilegon
Tahun 1872-1876 Haji
Abdul Karim menyebarkan tarekat Qadiriyah di Banten. Kemudian dianggap Kyai
terbesar di Banten dengan gelar Kyai Agung, ada pula yang menganggapnya sebagai
wali Allah. Tahun 1876 ia menggantikan Syekh Chatib Sambas di Makkah. Kemudian
ia berkata kepada murid-muridnya bahwa ia tidak akan kembali ke Banten jika
daerah tersebut masih di bawah kekuasaan orang asing.
Pada tahun 1883 K.H. Tubagus Ismail
pulang dari Makkah, sebagai keturunan Sultan Banten dia diangggap sebagai
keturunan “Wali Allah”. Tahun 1884 berlangsung perundingan pertama di rumah
Haji Wasid untuk mengadakan pemberontakan bersenjata yang dipimpin Tubagus
Ismail. Maret 1887 Haji Marjuki pulang dari Makkah ke Banten. Beliau adalah
murid istimewa dan wakil dari Haji Abdul Karim serta teman akrab Haji Tubagus
Ismail.
Haji Marjuki sebenarnya
tidak setuju dengan pemberontakan tersebut karena menganggap masyarakat belum
siap untuk melakukan pemberontakan tersebut. Namun pendapat Haji Marjuki
tersebut tidak diterima kyai lainnya termasuk Haji Wasid Akhirnya Haji Marjuki
bersama anak dan istrinya berangkat ke Makkah.
Pada tanggal 9 Juli
1888 Haji Wsid dan kelompoknya mulai melancarkan pemberontakan bersenjata. Di
Cilegon mereka berhasil membunuh 17 orang, diataranya 8 rang Belanda, dan
lainnya Jaksa, pegawai pajak, pembantu Patih, wakil wedono dan wedono sendiri.
Setelah itu mereka melakukan perjalanan dari Cilegon ke Serang. Namun di
perjalanan mereka bertemu dengan rombongan Belanda dari Serang menuju Cilegon.
Terjadilah pertempuran antara rombongan Haji Abdul Wasid dengan Belanda, dan 9
orang pengikutnya tewas, semangat
pemberontak pun berkurang. Sisa melanjutkan ke Banten selatan dimana sisanya
terbunuh 11 orang lagi. Akhirnya 94 orang diasingkan karena diduga terlibat
dalam pemberontakan ini.
b. Motif
Pemberontakan
Karena para pemberontak
tidak menulias karangan tentang motivasi mereka, maka latar belakang peristiwa
ini hanya dapat di kumpulkn dari phak lain atau dari penyelidikan polisi. Dari
laporan ini dan beberapa laporan pendek, diperoleh kesan bahwa :
1) Alasan
pemberontakan ini adalah campuran motif agama dan motif ekonomi atau sosial.
2) Bagi
ebagian pemberontak, pengetahuan tentang motif-motif pemberontakan ini sangat
terbatas. Mereka tidak megamati problematika dan suasana seluruh wilayah
Indonesia, tetapi hanya mengetahui beberapa perkara di Banten atau di daerah
Cilegon saja.
3) Tarekat
menjadi katalisator untuk mempersatukan manusia dan memperdalam pemikiran
tentang perang sabil.
a. Jihad.
Pada abad pertengahan
muncul dua pengertian tentang jihad. Para ahli tasawuf membedakan Jihad Saghir dan Jihad Akbar, wali Raslan, pengarang suatu risalah juga berpendapat
sama. Menurut pendapat di kalangan tasawuf, Jihad syarat, anatara lain :
1) Orang
berjihad di syaratkan punya banyak harta untuk membeli alat dan memelihara
keluarganya waktu mereka ikut jihad.
2) Jika
orang kafir atau orang bukan Islam menyerang daerah Islam, maka jihad menjdi
fardu ‘ain
3) Hasil
rampasan harus dibagi menurut beberapa syarat tertentu. 4/5 untuk yang ikut
perang, sedangkan yang lain dibagikan sesuai peraturan tertentu.
4) Jihad
hanya diperbolehkan dan sah jika adanya harapan yang jelas bahwa kemenangan
bisa di capai.
5) Orang
Islam harus memeinta orang bukan Islam untuk menjadi Islam. Jika ahli kitab
tidak mau masuh Islam namun membayar jizyah, maka jihad terhadap mereka tidak
wajib lagi.
6) Orang
Islam yang tewas dalam peperangan di jalan Allah disebut syahid dan akan masuk
surga.
b. Pendekatan
Politik dan Sosiologis Terhadap Aksi Jihad.
Dalam Treaty of London
(1824) yang ditetapkan oleh Belanda dan Inggris menyatakan bahwa orang Inggris berkuasa
di Malaya dan Singpura dan Belanda berkuasa di Belitung dan sebagian besar
wilayah Sumatra namun tetap hormat pada kedaulatan Aceh.
W.F. Wertheim, dalam analisanya tentang
perang Aceh ini menuduh snouck Hurgronje tidak mengerti sama sekali jiwa
pemberontakan ini. Menurut Snouck pertentangan Aceh dijiwai oleh agama dan
dipelopori oleh ulama. Para ulubalang dan kelaurga Sultan menurut Snouck tiak
menentang keras dan bersedia menerima kedudukan dalam sistem pemerintahan
kolonial. Ttetapi pendapat ini dibantah oleh Wertheim yang berpendapat bahwa Perang
Aceh adalah perang sosial dari rakyat kecil yang mencari pemimpin dalam pribadi
para ulama untuk menentang sikap feodal para ulubalang. (Wertheim, 1978, 57-58)
a. Laporan
Pertama : Tentang Islamisasi di Daerah Tengger Diperoleh dari H.M. Ia Chapelle.
Ia Chapelle seorang
pegawai Belanda yang beristirahat di Tosari karena sakit, mendapat kesan bahwa
Islam di Tengger makin lama semakin maju. Jika tidak ada peraturan dan
rintangan terhadap orang yang masuk Islam maka semua orang Tengger akan menjadi
Muslim. Walau sikap Ia Chapelle tidak positif dengan agama Islam, tetapi namun
ia dapat memberikan gambaran objektif bahwa orang Tengger memeluk agama Islam
ikhas tanpa paksaan.
b. Laporan
Kedua : Sikap Pegawai Belanda yang Positif Terhadap Islamisasi.
Residen Pasuruan
mengirim laporan Ia Chapelle yang diterbitkan dalam majalah TBG ke kotroler
G.G.L.von Freijburg di Puspo. Von Freijburg menjawab laporan tersebut tanggal 5
Oktober 1899 yang kemudian dimuat di amjalah TBG TAHUN 1901 (HAL. 1-18)
Dalam laporan tersebut Von Freijburg
menekankan bahwa akhir abad ke-19 telah dibangun jalan yang baik yang
menghubungkan antara Tengger dengan sekitarnya. Petani Tengger dapat menanan
sayuran dan kopi untuk kepentingan pasar si pesisir. Sehingga menarik orang
Islam datang ke Tengger untuk bermukim, sebaliknya orang-orang Tengger dapat melakukan
transaksi ke daerah lain. Pembangunan ekonomis ini membuka jalan untuk masuknya
agama Islam.
Motif untuk
mempertahankan adat dan agama Tengger mungkin dapat ditelusuri dari keinginan
mereka menjaga kepurbakalaan yang merupakan keistimewaan salah satu daerah.
Bagi von Freijburg motif ini tidak dapat dijadikan dasar yang kuat untuk
mengeluarkan peraturan membendung masuknya agama Islam di daerah itu. Dia
Justru membantah beberapa pendapat dari pegawai Belanda yang berkesimpulan
bahwa kebudayaan yang tinggi tidak dapat timbul kalau seluruh hidup diatur oleh
Al Quran. Pendapat ini dibantahnya dengan bukti sejarah, antara lain Pemerintahan
Harun Al Rasyid.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Perkembangan yang
terjadi khususnya di Indonesia pada abad ke-19 ditandai dengan lebih
intensifnya hubungan antara penduduk Indonesia dengan pihak asing, dalam hal
ini yaitu Belanda dan Inggris. Adanya ikut campur penjajah dengan masalah di Indonesia membuat
masalah justru bertambah besar. Ditambah lagi dengan Belanda yang menginginkan
kekuasaan atas beberapa wilayah di Indonesia. Wilayah-wilayah di Indonesia seperti
di Aceh, Sumatra Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan bisa dikatakan
mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri dalam melawan para penjajah.
Hubungan
yang dimiliki antara Indonesia dengan Penjajah tidak selalu buruk seperti
pemberontakan-pemberontakan yang telah diuraikan di atas. Hubungan baik pun
juga dimiliki oleh Indonesia dengan Penjajah walaupun hanya dalam hubungan
tertentu saja.
DAFTAR
PUSTAKA
Komentar
Posting Komentar