Langsung ke konten utama

MAKALAH: BEBERAPA PERISTIWA PENTING DI INDONESIA ABAD KE-19 DAN ASPEK SOSIAL POLITIKNYA



BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Perkembangan di Indonesia pada abad ke-19 dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti : Adanya pengaruh dari Arab yang dibawa oleh para Ulama dan Haji yang mencari ilmu agama disana sambil melakukan ibadah haji. Pengaruh lain yaitu ikut campurnya pihak asing seperti Belanda dalam urusan intern suatu kerajaan. Kemudian beberapa pengaruh lain yang memiliki kontribusi terhadap kemunduran atau kemajuan yang terjadi di Indonesia.
Abad ke-19 di Indonesia ditandai dengan munculnya beberapa gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia di beberapa wilayah dalam rangka melawan dan mengusir penjajah dari Indonesia. Kemajuan dalam bidang agama seperti lebih banyaknya orang-orang yang masuk Islam terjadi sekitar akhir abad ke-19. Pembahasan akan dilanjutkan lebih mendalam di bab selanjutnya.

B.     Rumusan Masalah
Beberapa masalah yang dirumuskan antara lain:
1.      Apa saja peristiwa yang terjadi di Indonesia pada abad ke 19?
2.      Seperti apa aspek sosial politik pada saat itu?



BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pangeran Diponegoro, Perang Jawa, dan Peranan Santri
a.       Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro lahir pada tahun 1785. Putra tertua Sultan Hamengkubuwono III (1811-1814) namun tidak diangkat sebagai Sultan untuk menggantikan ayahnya, karena :
1)      Ibu dari Diponegoro adalah bukan dari golongan bangsawan.
2)      Pemerintah Belanda tidak menyetujuinya, dan lebih memilih adiknya.
Bahkan setelah Sultan Hamengkubuwono IV meninggal, Diponegoro tidak terpilih menjadi sultan, justru yang terpilih adalah adiknya yang masih sangat muda. Akhirnya Diponegoro hanya diangkat menjadi wali dari sultan yang masih berusia tiga tahun tersebut dengan tiga orang lainnya. Saat menjadi wali pun pendapat Diponegoro tidak terlalu berpengaruh.
Pada tahun 1825 dibangun jalan baru yang melewati sebagian istana Diponegoro yaitu di desa Tegalrejo tanpa persetujuan dari Diponegoro tersebut sehingga membuatnya marah. Hal tersebut menjadi pemicu bagi Diponegoro untuk melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Yogyakarta dan terhadap pengaruh Belanda.
b.      Sebab-sebab Perang Jawa.
Beberapa sebab terjadinya perang Jawa antara lain :
1)      Pihak Belanda banyak mengambil alih daerah kesultanan Yogyakarta.
2)      Orang Tionghoa diberikan kesempatan untuk memungut pajak, khusus pajak jalan pada pintu tol.
3)      Adanya kekurangadilan dalam masyarakat Jawa khususnya pemerintahan pada awal abad ke-19.
4)      Adanya bermacam-macam intrik di Istana Keraton Yogyakarta.
5)      Praktek sewa perkebunan secara besar-besaran kepada Belanda yang menyebabkan pengaruh Belanda makin lama makin membesar.
6)      Kerja Paksa tidak hanya untuk kepentingan orang Yogyakarta saja namun juga untuk kepentingan Belanda.


c.       Unsur Agama dalam Perang Jawa.
P.J.F. Louw pensiunan tentara Belanda dan E.S. Klerk pada akhir abad ke-19 menulis riwayat perang Jawa ini dalam enam jilid, antara lain mengemukakan bahwa para pemimpin agama, kyai atau guru berhasil menyumbangkan massa yang cukup besar, yang menganggap agama sebagai alat bukan sebagai tujuan. Kelompok ini mampu mengobarkan semangat yang sangat tinggi pada awal pemberontakan. Namun semangat tersebut tidak bisa mengikat pengikut-pengikutnya lebih lama karena jimat yang digunakan tidak ada gunanya. Pengikut yang berada di garis depan perlawanan menjadi korban tembakan pertama dari Belanda.  Jadi , perang sering disalahgunakan oleh pemimpin yang hanya mencari pengikut bukan bukan demi kepentingan agama.

d.      Pendidikan Diponegoro dalam Bidang Agama.
Pengertian tentang Pangeran Diponegoro dalam bidang agama dikemukakan semacam otobiografi yang disusun oleh Pangeran Diponegoro sendiri dalam masa pembuangan, sekarang disebut Babad Diponegoro. Karangan ini cukup menguraikan bahwa Diponegoro cukup aktif belajar di beberapa pesantren walaupun tidak memberikan data lengkap tentang pendididkan tersebut.

e.       Hubungan kaum “Santri” dan kaum “Priyayi” Dalam Perang.
Pangeran Diponegoro sebenarnya mendapatkan dukungan dari pihak priyayi yaitu Kyai Maja, seorang ulama terkenal dari Surakarta. Tidak berapa lama kemudian timbul berbagai masalah diantara mereka yang akhirnya kerjasama antara kedua tokoh ini gagal.
Ibu Diponegoro adalah anak dari Kyai yang berasal dari Tembayat dan pengasuhnya di Tegalrejo adalah anak Kyai dari Sragen, sedangkan adiknya belajar kepada Kyai Taftayani (Carey 1974, 273). Diponegoro berusaha mengembangkan ilmu agamanya namun analisanya belum seperti kaum modernis dan nasionalis abad ke-20. Pikirannya masih bercampur dengan pikiran tentang Ratu Adil, dan para pengikutnya. Diponegoro menyebut dirinya “Sultan Ngabdulkamid Herucakra Kabirulmukminina Kalifatul Rasulullah Hmengkubuwono Senapati Ingalaga Sabilullah ing Tanah Jawa”.

2.      Perang Hitam dan Putih di Minangkabau
a.       Perang Intern Beralih Menjadi Perang Melawan Belanda.
Tahun 1803 tiga orang haji yaitu Haji Sumanik, Haji Miskin dan Haji Piobang pulang dari Makkah. Setibanya dari Makkah mereka mulai melarang bermacam-macam kejahatan dan tradisi yang tidak sesuai dengan ajaran Islam sebenarnya, seperti sabung ayam, judi, minum minuman keras dan pakaian wanita yang tidak menutup aurat. Gerakan tersebut mendapat tentangan dari Kaum Adat. Akhirnya antara Kaum Paderi dan Kaum Adat terjadi perlawanan pertama di kota Lawas.
Saat Raffles memerintah di Padang tahun 1818, Kaum Adat memintan bantuan kepadanya untuk membantu melawan Kaum Paderi. Namun belum sempat membantu Kaum Adat, pemerintahan Raffles sudah digantikan oleh Belanda. Setelah Kaum Adat mengadakan perjanjian dengan Belanda, akhirnya Belanda mulai menyerang Kaum Paderi. Perlawanan-perlawanan dilakukan oleh Kaum Paderi terhadap Belanda dan Kaum adat. Setelah berapa lama muncul Tuanku Nan Tuo yang terkenal moderat dan berusaha mencari perdamaian antara kaum Adat dan kaum Paderi. Dan Ternyata cukup  banyak yan mengikuti jajak Tuankuu Nan Tuo. Tahun 1825-1830 terjadi pemberontakan di Jawa yang memerlukan seluruh tenaga militer Belanda, maka dalam masa ini tidak terjadi serangan dari pihak Belanda.
Tahun 1831 Belanda kembali melakukan serangan. Dari peperangan ini muncul pemimpin yang keras dari kelompok Paderi yaitu Tuanku Tambusai, Tuanku Imam Bonjol, Tuanku Damasiang dan Tuanku nan Cerdik. Namun tahun 1833 Tuanku nan Cerdik menyerah dan tahun 1844 Tuanku Imam bonjol menyerah pula. Sedangkan Tuanku Tambusai terus melanjutkan perlawanannya selama beberapa tahun dan kalah pada tahun 1838. Dengan demikian Belanda menang dan Sumatra Barat menjadi daerah kekuasaannya.    
b.      Gerakan Paderi Sebagai Gerakan Reformis.
Kenyataan bahwa gerakan Paderi merupakan gerakan reformis masih banyak diperdebatkan oleh beberapa orang. DR. Karel Steenbrink sendiri masih sulit untuk menetukan pada periode mana munculnya gerakan ini sebagai gerakan reformis atau pemurnian dalam agama. Wertheim (1978, 57) dengan jelas menerapkan metode sosiologi dalam menggambarkan corak reformisme kaum Paderi. Seorang ahli yang pertama kali mengemukakan hipotesa tentang pengaruh Wahhabi adalah Dr. Pieter Jan Veth (1814-1895). Hipotesanya yaitu adanya persamaan antara Paderi dengan kaum Wahhabi, yaitu dalam hal penggunaan metode kekerasan dalam mencapai tujuan. Tetapi hipotesa tersebut si tolak oleh Schrieke (1973, 17) dengan beberapa alasan yaitu :
1)      Kaum Paderi tidak menetang ziarah kubur seperti pengaruh Wahhabi
2)      Kaum Paderi amat menghormati Nabi Muhammad SAW antara lain dengan merayakan Maulid Nabi secara meriah.
3)      Sistem pemerintahan Minangkabau bersifat desentralisasi sedangkan sistem pemerintahan Wahhabi bersifat sentralisasi.
Pendapat lain tentang reformis juga dikemukakan oleh Steijn Parve bahwa Haji Miskin adalah tokoh pertama yang memberikan dorongan reformasi walaupun akhirnya beliau tidak mempunyai peranan penting. Jalaluddin juga berpendapat sama.
c.       Sumber Primer Lain.
Naskah lama ditemukan oleh Van Ronkel di Kota Bonjol yang berisi tentang riwayat gerakan “Paderi” di bawah Bonjol yang ditulis oleh Imam Bonjol sendiri yang kemudian dilanjutkan oleh anaknya. Naskah tersebut menjelaskan bahwa para pemimpin Paderi juga empat tuanku dari Bonjol selalu menetapkan hari yang baik untuk usaha-usaha penting menurut perhitungan pada zaman dulu. Selalu melakukan ramalan langkah pada saat akan berangkat. Dalam nasehat terakhir kepada anaknya sebelum menyembunyikan diri dari tentara Belanda Imam Bonjol antara lain menganjurkan anaknya agar mencari hikmah para ulama, yang mengetahui mana yang haram dan mana yang halal, dan menaati perintah penhulu adat. Kalau perintah itu mustahil dipatuhi, maka perintah itu salah. Namun jika perintah itu secara fisik bisa ditaati berarti perintah itu sah.

3.      Pangeran Antasari, Sultan Kuning dan Ratib Beamal di Kalimantan Selatan.
Tahun 1785 terjadi perselisihan mengenai pergantian Sultan Muhammad. Pangeran Nata yang diangkat menjadi wali anak Sultan Muhammad ternyata justru menhangkat dirinya sebagai Sultan Tahmidullah II (1785-1808). Lalu Pangeran Amir yang berhak jadi sultan dan para pengikutnya diusir dengan menggunakan kekuatan Belanda. Pada Masa Sultan Sulaiman (1808-1825) pihak Belanda turut pula menumpas pemberontakan terhadap Sultan Sulaiman dengan imbalan menerima wilayah tambahan. 
Pada tahun 1825-1857 Sultan Adam naik tahta, kemudian mengangkat puteranya dari selir keturunan bangsawan yaitu Pangeran Hidayat menjadi patih. Setelah Sultan Adam Wafat, Pangeran Hidayat tidak menggantikan ayahnya, justru Belanda memilih putera Sultan dari selir non-bangsawan yang kemudian di beri gelar Sultan Tamjidullah II (1857-1860). Tamjidullah mengangkat beberapa perampok untuk dijadikan sebagai kepala daerah yang menimbulkan keresahan masyarakat dan perlawanan sengit dari Pangeran Hidayat.
Perlawanan terhadap Sultan Tamjidullah dan Belanda dilakukan tidah hanya dari kalangan bangsawan namun juga dari masyarakat biasa, diantaranya :
1)      Pangeran Hidayat
2)      Pangeran Antasari, cucu dari Pangeran Amir yang gagal menerima tahta kerajaan pada tahun 1785. Ibunya adalah anak dari Sultan Sulaiman. Pada akhir tahun 1850-an Antasari hidup sangat sederhana di sebuah desa dekat Martapura. Tanggal 14 Maret 1862 ia diberi gelar Pemimpin Tertinggi Agama dan “Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin”. Ia wafat 11 November 1828 yang kemudian digantikan oleh putranya Muhammad Seman (1862-1905).
3)      Orang-orang yang tidak memperoleh keadilan pada masa pemerinyahan Tamjidullah II dan sebelumnya.
4)      Beberapa haji dan pedagang kaya yang dirugikan karena pengaruh Bekanda makin lama makin meluas.
Peran penting agama juga terbukti dalam beberapa peristiwa, yaitu :
1)      Sesudah Antasari diangkat sebagai Sultan, ia diberi gelar bercorak keagamaan yang berarti sebagai pembela agama.
2)      Pemberontakan pertama terhadap Tamjidullah II terjadi di daerah Batang Balangan. Di Masjid Batang Balangan di jumpai selebaran yang sudah di baca oleh seorang penghulu atau kepala desa yang bernama A. Gani.
3)      Awal Maret 1859, terjadilah peristiwa penobatan "Sultan Kuning” yang terjadi di daerah Muning, sekitar 15-16 jam perjalanan ke utara Martapura. Sultan Kuning adalah putra dari Aling atau Panembahan Muda.
4)      Oktober 1861 Pemberontakan terhadap Belanda berkembang kembali di daerah Amuntai yang dipimpin oeh seorang penghulu bernama Abdul Rasyid. Sedangkan golongan dari Abdul Rasyid sendiri bernama “Beratib Beamal” atau “Beratib Beilmu”, karena mendapat ilmu kebal adalah maksud utama dari praktek wirid mereka.

4.      Jihad di Cilegon
a.       Jihad di Cilegon
Tahun 1872-1876 Haji Abdul Karim menyebarkan tarekat Qadiriyah di Banten. Kemudian dianggap Kyai terbesar di Banten dengan gelar Kyai Agung, ada pula yang menganggapnya sebagai wali Allah. Tahun 1876 ia menggantikan Syekh Chatib Sambas di Makkah. Kemudian ia berkata kepada murid-muridnya bahwa ia tidak akan kembali ke Banten jika daerah tersebut masih di bawah kekuasaan orang asing.
Pada tahun 1883 K.H. Tubagus Ismail pulang dari Makkah, sebagai keturunan Sultan Banten dia diangggap sebagai keturunan “Wali Allah”. Tahun 1884 berlangsung perundingan pertama di rumah Haji Wasid untuk mengadakan pemberontakan bersenjata yang dipimpin Tubagus Ismail. Maret 1887 Haji Marjuki pulang dari Makkah ke Banten. Beliau adalah murid istimewa dan wakil dari Haji Abdul Karim serta teman akrab Haji Tubagus Ismail.
Haji Marjuki sebenarnya tidak setuju dengan pemberontakan tersebut karena menganggap masyarakat belum siap untuk melakukan pemberontakan tersebut. Namun pendapat Haji Marjuki tersebut tidak diterima kyai lainnya termasuk Haji Wasid Akhirnya Haji Marjuki bersama anak dan istrinya berangkat ke Makkah.
Pada tanggal 9 Juli 1888 Haji Wsid dan kelompoknya mulai melancarkan pemberontakan bersenjata. Di Cilegon mereka berhasil membunuh 17 orang, diataranya 8 rang Belanda, dan lainnya Jaksa, pegawai pajak, pembantu Patih, wakil wedono dan wedono sendiri. Setelah itu mereka melakukan perjalanan dari Cilegon ke Serang. Namun di perjalanan mereka bertemu dengan rombongan Belanda dari Serang menuju Cilegon. Terjadilah pertempuran antara rombongan Haji Abdul Wasid dengan Belanda, dan 9 orang pengikutnya tewas,  semangat pemberontak pun berkurang. Sisa melanjutkan ke Banten selatan dimana sisanya terbunuh 11 orang lagi. Akhirnya 94 orang diasingkan karena diduga terlibat dalam pemberontakan ini.

b.      Motif Pemberontakan
Karena para pemberontak tidak menulias karangan tentang motivasi mereka, maka latar belakang peristiwa ini hanya dapat di kumpulkn dari phak lain atau dari penyelidikan polisi. Dari laporan ini dan beberapa laporan pendek, diperoleh kesan bahwa :
1)      Alasan pemberontakan ini adalah campuran motif agama dan motif ekonomi atau sosial.
2)      Bagi ebagian pemberontak, pengetahuan tentang motif-motif pemberontakan ini sangat terbatas. Mereka tidak megamati problematika dan suasana seluruh wilayah Indonesia, tetapi hanya mengetahui beberapa perkara di Banten atau di daerah Cilegon saja.
3)      Tarekat menjadi katalisator untuk mempersatukan manusia dan memperdalam pemikiran tentang perang sabil.


5.      Jihad di Aceh
a.       Jihad.
Pada abad pertengahan muncul dua pengertian tentang jihad. Para ahli tasawuf membedakan Jihad Saghir dan Jihad Akbar, wali Raslan, pengarang suatu risalah juga berpendapat sama. Menurut pendapat di kalangan tasawuf, Jihad syarat, anatara lain :
1)      Orang berjihad di syaratkan punya banyak harta untuk membeli alat dan memelihara keluarganya waktu mereka ikut jihad.
2)      Jika orang kafir atau orang bukan Islam menyerang daerah Islam, maka jihad menjdi fardu ‘ain
3)      Hasil rampasan harus dibagi menurut beberapa syarat tertentu. 4/5 untuk yang ikut perang, sedangkan yang lain dibagikan sesuai peraturan tertentu.
4)      Jihad hanya diperbolehkan dan sah jika adanya harapan yang jelas bahwa kemenangan bisa di capai.
5)      Orang Islam harus memeinta orang bukan Islam untuk menjadi Islam. Jika ahli kitab tidak mau masuh Islam namun membayar jizyah, maka jihad terhadap mereka tidak wajib lagi.
6)      Orang Islam yang tewas dalam peperangan di jalan Allah disebut syahid dan akan masuk surga.

b.      Pendekatan Politik dan Sosiologis Terhadap Aksi Jihad.
Dalam Treaty of London (1824) yang ditetapkan oleh Belanda dan Inggris menyatakan bahwa orang Inggris berkuasa di Malaya dan Singpura dan Belanda berkuasa di Belitung dan sebagian besar wilayah Sumatra namun tetap hormat pada kedaulatan Aceh.
W.F. Wertheim, dalam analisanya tentang perang Aceh ini menuduh snouck Hurgronje tidak mengerti sama sekali jiwa pemberontakan ini. Menurut Snouck pertentangan Aceh dijiwai oleh agama dan dipelopori oleh ulama. Para ulubalang dan kelaurga Sultan menurut Snouck tiak menentang keras dan bersedia menerima kedudukan dalam sistem pemerintahan kolonial. Ttetapi pendapat ini dibantah oleh Wertheim yang berpendapat bahwa Perang Aceh adalah perang sosial dari rakyat kecil yang mencari pemimpin dalam pribadi para ulama untuk menentang sikap feodal para ulubalang. (Wertheim, 1978, 57-58)

6.      Beberapa Kasus Tentang Orang Indonesia yang Masuk Islam
a.       Laporan Pertama : Tentang Islamisasi di Daerah Tengger Diperoleh dari H.M. Ia Chapelle.
Ia Chapelle seorang pegawai Belanda yang beristirahat di Tosari karena sakit, mendapat kesan bahwa Islam di Tengger makin lama semakin maju. Jika tidak ada peraturan dan rintangan terhadap orang yang masuk Islam maka semua orang Tengger akan menjadi Muslim. Walau sikap Ia Chapelle tidak positif dengan agama Islam, tetapi namun ia dapat memberikan gambaran objektif bahwa orang Tengger memeluk agama Islam ikhas tanpa paksaan.

b.      Laporan Kedua : Sikap Pegawai Belanda yang Positif Terhadap Islamisasi.
Residen Pasuruan mengirim laporan Ia Chapelle yang diterbitkan dalam majalah TBG ke kotroler G.G.L.von Freijburg di Puspo. Von Freijburg menjawab laporan tersebut tanggal 5 Oktober 1899 yang kemudian dimuat di amjalah TBG TAHUN 1901 (HAL. 1-18)
Dalam laporan tersebut Von Freijburg menekankan bahwa akhir abad ke-19 telah dibangun jalan yang baik yang menghubungkan antara Tengger dengan sekitarnya. Petani Tengger dapat menanan sayuran dan kopi untuk kepentingan pasar si pesisir. Sehingga menarik orang Islam datang ke Tengger untuk bermukim, sebaliknya orang-orang Tengger dapat melakukan transaksi ke daerah lain. Pembangunan ekonomis ini membuka jalan untuk masuknya agama Islam.
Motif untuk mempertahankan adat dan agama Tengger mungkin dapat ditelusuri dari keinginan mereka menjaga kepurbakalaan yang merupakan keistimewaan salah satu daerah. Bagi von Freijburg motif ini tidak dapat dijadikan dasar yang kuat untuk mengeluarkan peraturan membendung masuknya agama Islam di daerah itu. Dia Justru membantah beberapa pendapat dari pegawai Belanda yang berkesimpulan bahwa kebudayaan yang tinggi tidak dapat timbul kalau seluruh hidup diatur oleh Al Quran. Pendapat ini dibantahnya dengan bukti sejarah, antara lain Pemerintahan Harun Al Rasyid. 


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Perkembangan yang terjadi khususnya di Indonesia pada abad ke-19 ditandai dengan lebih intensifnya hubungan antara penduduk Indonesia dengan pihak asing, dalam hal ini yaitu Belanda dan Inggris. Adanya ikut campur  penjajah dengan masalah di Indonesia membuat masalah justru bertambah besar. Ditambah lagi dengan Belanda yang menginginkan kekuasaan atas beberapa wilayah di Indonesia. Wilayah-wilayah di Indonesia seperti di Aceh, Sumatra Barat, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan bisa dikatakan mempunyai sejarahnya sendiri-sendiri dalam melawan para penjajah. 

Hubungan yang dimiliki antara Indonesia dengan Penjajah tidak selalu buruk seperti pemberontakan-pemberontakan yang telah diuraikan di atas. Hubungan baik pun juga dimiliki oleh Indonesia dengan Penjajah walaupun hanya dalam hubungan tertentu saja.


DAFTAR PUSTAKA

Steenbrink, Karel A., 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19. Jakarta: Bulan Bintang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH: PERJUANGAN DAN KEPEMIMPINAN CUT MEUTIA MELAWAN KOLONIAL BELANDA DI TANAH ACEH TAHUN 1901-1910

 BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Perang Aceh yang terjadi dari tahun 1873 sampai 1904 yang ditandai dengan menyerahnya Kesultanan Aceh menjadi salah satu perlawanan yang cukup sengit melawan kolonial Belanda pada saat itu. Perebutan wilayah Aceh oleh Belanda dan rakyat Aceh yang tidak rela wilayahnya dikuasai oleh Belanda   menjadi faktor utama perlawanan di Aceh. Banyak rakyat yang gugur dalam perlawanan tersebut   termasuk para pemimpin perlawanan seperti Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan masih banyak lagi.

MAKALAH: PERANG PADRI

Disusun Oleh : A Sodikin, A Nisa BAB I PENDAHULUAN Masyarakat Minangkabau telah memeluk ajaran Islam sejak Abad 16 atau bahkan sebelumnya. Namun hingga awal abad 19, masyarakat tetap melaksanakan adat yang berbau maksiat seperti   berjudi, sabung ayam maupun mabuk-mabukan. Hal demikian menimbulkan polemik antara Tuanku Koto Tuo seorang ulama yang sangat disegani, dengan para muridnya yang lebih radikal. Terutama Tuanku nan Renceh. Mereka sepakat untuk memberantas maksiat. Hanya, caranya yang berbeda.   

MAKALAH: MAULID NABI

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Maulid Nabi Muhammad SAW atau kadang disebut maulid nabi adalah peringatan hari lahir nabi Muhammad SAW yang perayaannya jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata Maulid atau Milad berarti hari lahir. Perayaan Merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara substansi peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dari munculnya maulid nabi hingga perkembangannya, peringatan maulid nabi sendiri tidak terlepas dari perbedaan pendapat antara kelompok yang mendukung adanya perayaan maulid nabi dengan kelompok yang mementangnya. Makalah ini sedikit akan menjelaskan tentang hal-hal tersebut. B.      Rumusan Masalah Rumusan masalah yang akan dijelaskan pada makalah ini yaitu : 1.       Bagaimana awal muncul dan perkembangan Maulid Nabi? 2.       Bagaimana pendapat tentang perayaan Maulid Nabi? BAB II