BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagaimana kita
ketahui kebudayaan itu meliputi seluruh hasil usaha manusia baik hasil itu
berupa benda maupun hanya berupa buah pikiran dan alam penghidupan saja. Dari
jaman lampau hasil kebudayaan itu hanya berupa benda-benda buatan manusia
sedangkan alam pikirannya tersembunyi atau tersirat di dalam benda-benda
tersebut. Jika benda itu berupa keterangan tertulis maka lebih mudah dan lebih
jelas dapat kita ketahui, alam pikiran apa yang menjadi latar belakangnya.
Dalam perkembangannya
selam 15 abad, di tengah-tengah jaringan pengaruh-pengaruh agama Budha dan
agama Hindu, kebudayaan Indonesia memang mengalami perubahan-perubahan yang
tidak sedikit serta kemajuan-kemajuan yang luar biasa, tetapi semua itu hanya
menuju ke arah terwujudnya kebudayaan Indonesia yang baru.
B. Rumusan Masalah
1. Ciri-ciri budaya
Indonesia zaman purba.
2. Peninggalan hasil
budaya Indonesia zaman purba.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Candi
Kata “candi” berasal dari salah satu nama untuk Durga
sebagai Dewi Maut, yaitu Candika. Jadi bangunan itu erat hubungannya dengan
Dewi Maut. Memang candi itu sebenarnya adalah bangunan yang memuliakan orang
yang telah wafat, khusus untuk para raja dan orang-orang terkemuka. Yang
dikuburkan di situ bukanlah mayat ataupun abu jenazah melainkan bermacam-macam
benda, seperti potongan-potongan berbagai jenis logam dan batu-batu akik, yang
disertai dengan saji-sajian. Benda-benda tersebut dinamakan “pripih” dan
dianggap sebagai lambang zat-zat jasmaniah dari sang raja yang telah bersatu
kembali dengan dewa perintisnya.
Mayat seorang raja yang meninggal di bakar, dan abunya di
buang atau dihanyutkan ke laut. Hal ini dilakukan dengan berbagai upacara, dan
upacara-upacara serupa ini nantinya dilakukan lagi beberapa kali dengan antara
waktu yang tertentu. Maksudnya ialah menyempurnakan roh agar dapat bersatu
kembali dengan dewa yang dahulu menitis menjelma di dalam sang raja itu. Upacara
terakhir adalah upacara Cradha. Pada kesempatan ini di lepaskan sama sekali
dari segala ikatan keduniawian yang mungkin masih ada, dan lenyaplah penghalang
terakhir untuk dapatnya bersatu kembali roh itu dengan dewa penitisnya.
Setelah
sang raja lepas dari alam kemanusiaan dan menjadi dewa, didirikanlah sebuah
bangunan untuk menyimpan pripih tersebut. Pripih ini di letakkan dalam sebuah
peti batu, dan peti ini diletakkan dalam dasar bangunannya. Di samping itu
dibuatkanlah sebuah patung yang mewujukan sang raja sebagai dewa, dan patung
ini sebagai sasaran pemujaan bagi mereka yang hendak memuja sang raja.
Candi
sebagai pemakaman hanya terdapat dalam agama Hindu. Candi-candi agama Budha
dimaksudkan sebagai tempat pemujaan dewa belaka. Di dalamnya tidak terdapat
peti pripih dan arcanya tidak mewujudkan seorang raja. Abu jenazah dari para
bhiksu terkemuka juga dikubur di sekitar candi dalam bangunan stupa.
Candi
sebagai bangunan terdiri atas 3 bagian, yaitu: kaki, tubuh dan atap. Kaki candi
denahnya bujur sangkar dan biasanya agak tinggi dan dapat dinaiki melalui
tangga yang menuju ke dalam bilik candi. Di dalam kaki candi itu di
tengah-tengah ada sebuah perigi[1] tempat
menanam pripihnya.
Tubuh
candi terdiri atas sebuah bilik yang berisi arca perwujudannya. Arca ini
berdiri di tengah bilik tepat di atas perigi dan menhadap ke arah pintu masuk
candi. Dinding-dinding bilik ini sisi luarnya diberi relung-relung yang diisi
dengan arca-arca. Relung sisi Selatan bertahta arca Guru, relung Utara arca
Durga dan relung dinding belakang (Barat atau Timur tergantung dari arah
menghadapnya candi) arca Ganesa. Pada candi-candi yang agak besar relung-relung
itu diubah menjadi bilik-bilik, masing-masing dengan pintu masuknya sendiri.
Dengan demikian, dapat disimpulkan sebuah bilik tengah yang dikelilingi oleh
bilik-bilik samping, sedangkan bilik mukanya menjadi jalan keluar masuk candi.
Candi
ada yang berdiri sendiri dan ada yang berkelompok. Candi bekelompok terdiri
atas sebuah candi induk dan candi-candi perwara yang lebih kecil. Kelompok
candi di Selatan Jawa Tengah selalu di susun sedemikian rupa, sehingga candi
induk berdiri di tengah dan candi-candi perwiranya teratur rapi di
sekelilingnya. Sedangkan di bagian Utara Jawa Tengah cadi-candi masing-masing
berdiri sendiri. Letak tersebut mencerminkan adanya pemerintahan pusat di Jawa
Tengah Selatan dan pemerintahan federal yang terdiri dari daerah-daerah
swatantra yang sederajat di Jawa Tengah Utara.
Di
lihat dari cara pengelompokkannya, candi-candi di Indonesia dapat dikelompokkan
menjadi 3, yaitu: Jenis Jawa Tengah Utara, jenis Jawa Tengah Selatan, dan jenis
Jawa Timur dengan termasuk di dalamnya candi-candi di Bali dan Sumatra Tengah
(Muata Takus) dan Sumatra Utara (Padanglawas). Pembagian ini sesuai dengan
kegamaan yang mereka wakili yaitu berturut-turut: Agaman Hindu (Trutama Siwa),
Agama Budha (Mahayana), dan Tantrayana.[2]
Candi-candi
jenis Jawa Tengah Utara yang terpenting adalah: Candi Gunung Wukir, Candi
Badut, kelompok candi Dieng dan kelompok Candi Gedong Songo. Candi-candi jenis
Jawa Tengah Selatan yang terpenting adalah: Candi Kalasan, Candi Sari, Candi
Borobudur, Candi Mendut, kelompok Candi Sewu, kelompok candi Plaosan dan
kelompok Candi Loro Jonggrang. Candi-candi di Jawa Timur yang terpenting
adalah: Candi Kidal, Candi Jago, Candi Singosari, Candi Jawi, kelompok Candi
Panataran, Candi Jabung, kelompok Candi Muara Takus dan kelompok candi-candi
Gunung Tua.
2.
Patung Dewa
Seperti yang sudah diketahui dari hal candi, untuk raja
yang sudah bersatu kembali dengan perintisnya di buatkan sebuah patung. Patung
ini menjadi arca induk di dalam. Biasanya sebuah candi itu memuat berbagai
patung dewa-dewa lainnya. Dengan demikian, seni pahat patung hubungannya dengan
keagamaan. Patung-patung itu menggambarkan dewa atau dewi. Untuk membedakan
dewa yang satu dengan dewa yang lainnya maka setiap arca mempunyai tanda-tanda
tersendiri. Tanda-tanda khusus ini dinamakan laksana atau ciri.
Patung dewa-dewa agama Hindu:
1.
Siwa sebagai Mahadewa ciri-cirinya: Ardhacandrakapala, yaitu bulan sabit di
bawah sebuah tengkorak yang terdapat di mahkota, mata ketiga di dahi, upawita[3] ular naga,
cawat kulit harimau yang dinyatakan dengan lukisan kepala serta ekor harimau
pada kedua pahanya, tangannya 4 masing-masing memegang camara/ penghalau lalat,
aksamala/ tasbih, kamandalu/ kendi berisi air kehidupan, dan trisula/ tombak
yang ujungnya bercabang tiga.
2.
Siwa sebagai Mahaguru, ciri-cirinya: kamandalu dan trisula, perut gendut,
berkumis panjang dan berjanggut runcing.
3.
Siwa sebagai Mahakala, ciri-cirinya: rupanya manakutkan seperti raksasa dan
bersenjatakan gada.
4.
Siwa sebagai Bhairawa, cir-cirinya lebih menakutkan lagi, ia berhiaskan
rangkaian tengkorak, tangan satunya memegang mangkuk dari tengkorak, dan tangan
lainnya sebuah pisau. Sering pula ia dilukiskan berdiri di atas bangkai dari
tengkorak-tengkorak.
5.
Durga, istri Siwa biasanya dilukiskan sebagai Mahisasuramardini. Ia berdiri di
atas seekor lembu yang ia takhlukkan. Lembu ini adalah penjelmaan raksasa
(asura) yang menyerang kayangan yang di basmi oleh Durga. Durga bertangan 8,
10, atau 12 yang masing-masing tangannya memegang senjata.
6.
Putra Siwa ada 2, yaitu; Ganesa, dewa yang berkepala gajah dan yang di sembah
sebagai dewa ilmu dan dewa penyingkir rintangan-rintangan dan Kartikeya sebagai
dewa yang selalu di gambarkan sebagai anak yang naik merak dan mempunyai
kedudukan sebagai dewa perang.
7.
Wisnu, ciri-cirinya: bertangan empat yang masing-masing memegang gada, cakra
(cakram), sangka (kerang bersayap) dan uah atau kuncup teratai.
8.
Brahma mudah di kenal, karena ia selalu di gambarkan berkepala atau bermuka
empat. Tangannya empat pula dan yang dua memegang aksamala[4]
dan camara[5].
Patung
dewa yang dilukiskan oleh suatu arca Budha hanya dapat di ketahui dari mudra
(sikap tangan) saja, antara lain:
1.
Wairocana, penguasa Zenith, mudranya dharmacakra yaitu sikap tangan memutar
roda dharma.
2.
Aksobhya, penguasa Timur, mudranya Bhumisparca yaitu sikap tangan memanggil
bumi sebagai saksi (waktu Buddha di goda oleh Mara di bawah pohon bodhi).
3.
Amoghasidhi, penguasa Utara, mudranya Abaya yaitu sikap tangan menentramkan.
4.
Amitabha, penguasa Barat, Budha dunia sekarang, mudranya dhyana yaitu sikap
tangan bersemadi.
5.
Ratnasambhawa, penguasa Selatan, mudranya wara yaitu sikap tangan memberi
anugerah.
Tidak ada bedanya dengan candi-candi, dalam seni patung
ini nampak pula perbedaan yang nyata antara langgam Jawa Tengah dan langgam
Jawa Timur. Pada umumnya di Jawa Tengah itu arcanya sangat indah, btul-btul
menggambarkan seorang dewa dengan segala-galanya sesuai dengan apa yang
dicita-citakan orang. Di Jawa Timur arcanya sedikit kaku, dan sengaja di
sesuaikan dengan maksud yang sesungguhnya yaitu menggambarkan seorang raja atau
pembesar negara yang telah wafat. Sifat kedewaannya hanya dinyatakan dengan
laksana-laksana dan dengan prabha/ lingkaran cahaya yang bersinar dari kepala
atau tubuh.
Dilihat dari sudut keagamaan ini, maka sebenarnya
keindahan tidak dapat di pakai sebagai ukuran untuk membedakan arca-arca Jawa
Tengah dan Jawa Timur. Tetapi antara arca-arca Jawa Tengah Utara dan arca-arca
Jawa Tengah Selatan justru perbedaan yang mencolok ada pada keindahannya.
Seperti juga halnya dengan bangunan-bangunannya, arca dari langgam Jawa Tengah
Utara lebih sederhana, dan lebih nyata sifat kerakyatannya daripada arca dari
langgam Jawa Tengah Selatan yang pada umumnya sangat megah dan kaya.
3.
Seni Ukir
Hasil-hasil seni
pahat ukir ini terutama berupa hiasan-hiasan pengisi bidang pada
dinding-dinding candi. Yang menjadi pola hiasan ialah makhluk-makhluk ajaib dan
tumbuh-tumbuhan sesuai dengan suasana Gunung Mahameru. Di antara
makhluk-makhluk gaib itu yang selalu terpancang pada ambang atas pintu atau
relung adalah kepala Kala, yang juga di sebut banaspati/ raja hutan.
Makhluk-makhluk ajaib itu sering kali sudah di samar sama
sekali menjadi hiasan daun-daunan. Daun-daunan ini menjadi pola utama dalam
ukiran-ukiran, dan biasanya dirangkai oleh sulur-sulur yang melingkar meliku
menjadi sulur gelung.
Pada berbagai candi terutama di Jawa Tengah, terdapat
hiasan gambar pohon. Kebanyakan dari pohon-pohon itu menggambarkan Kalpataru
atau parijata, yaitu pohon yang dapat memberi segala apa yang diinginkan dan
diminta oleh manusia. Macam hiasan lain yang bukan hanya hiasan semata tapi
juga relief-relief yang melukiskan suatu cerita. Cerita-cerita ini diambil dari
kitab-kitab kesusastraan seperti Ramayana dan dari kitab-kitab keagamaan,
seperti: Karmawibhangga, Kunjarakarna, dll. Relief yang terpenting kita dapati
pada :
1. Candi Borobudur :
Karmawibhangga,
yang menggambarkan perbuatan manusia serta hukuman-hukumannya, terdapat di
bagian kaki yang ditimbun. Lalitawistara, cerita riwayat Buddha Gautama sejak
lahir sampai mendapat bodhi, terdapat pada tembok lorong pertama. Gandawyuha,
yang menceritakan usaha Sudhana mencari ilmu yang tertinggi, terdapat pada
dinding lorong ke dua dan seterusnya.
2. Kelompok Loro
Jonggrang :
Ramayana,
terdapat pada langkan candi Siwa, dan di teruskan pada langkan candi Brahma.
Krsnayana, terdapat pada langkan candi Wisnu.
3. Candi Jago :
Krsnayana, Parthayajna, dan Kunjarakarna,
pada relief-relief ini untuk pertama kalinya kita jumpai tokoh-tokoh punakawan.
4. Candi Panataran:
Ramayana dan Krsnayana.
5. Candi Surowono :
Arjunawiwaha.
4.
Barang-barang Logam
Selain arca-arca dari batu, banyak pula arca-arca dari
logam. Sebagian besar terbuat dari perunggu. Ada juga yang terbuat dari emas,
perak, dan dari perunggu berlapis emas. Pada umumnya arca-arca logam itu
berukuran kecil. Sehigga arca-arca ini digunakan untuk pemujaan dirumah. Karena
kecilnya arca tersebut maka dapat di bawa kesana-kemari. Karena itu, sulit
menetukan asal asli arca tersebut. Karena itu pula sulit menentukan dari jaman
sejarah manakah arca tersebut berasal jika tidak ada suatu keterangan yang
nyata misalnya tulisan atau angka tahun. Tempat arca itu di dalam sejarah hanya
dapat diperkirakan saja berdasarkan atas corak dan bentuknya.
Ada pula arca logam yang berukuran besar. Dari Sulawesi
Selatan terdapat sebuah arca Budha sebesar manusia. Lebih besar lagi adalah
arca perunggu dari Candi Sewu. Sayang arca ini sudah lenyap, tetapi dari arca
tersebut telah ditemukan kembali beberapa ikal dari rambutnya. Berdasarkan atas
besarnya ikal tersebut, maka arca Budha kelompok candi Sewu itu dapat
diperkirakan tingginya lebih dari 4 meter.
Kecuali arca, masih banyak benda-benda lainnya yang
dibuat dari logam (perunggu) : lampu gantung, genta besar untuk digantung di
biara dan genta kecil yang digunakan untuk keperluan saji bagi para pedanda,
jambangan dan mangkuk untuk keperluan meletakkan air suci, talam yang bentuknya
seperti baki bundar besar yang permukaannya sering dihiasi dengan ukiran bunga
teratai yang indah, pedupaan, dan lain-lain.
Barang-barang perhiasan dari emas banyak juga di dapat :
cincin yang bermata atau tidak, cincin yang berukiran ragam hias, cincin cap
yang memuat ucapan untuk keselamatan, gelang, rantai, kalung, dan lain-lain.
5.
Kesusastraan
Menurut waktu perkembangannya kesusastraan jaman purba
dapat di bagi menjadi kesusastraan : Jaman Mataram (sekitar abad ke-9 dan
ke-10), jaman Kadiri (sekitar abad ke-11 dan 12), jaman Majapahit I (sekitar
abad ke-14), dan jaman Majapahit II (sekitar abad ke-15 dan 16). Sebelum kita
meninjau hasil kesusastraan Jawa Kuno, kita lebih dahulu melihat kitab-kitab
isi kitab-kitab Ramayanan dan Mahabharata dari India tersebut.
Ramayana
Kitab
ini di karang oleh Walmiki disekitar permulaan tarikh Masehi, terdiri atas 7
jilid (kanda) dan digubah dalam bentuk syair sebanyak 24.000 sloka. Ke-7 Kanda
tersebut adalah: Bala-kanda, Ayodhya-kanda, Aranya-kanda, Sundara-kanda,
Yuddha-kanda, dan Uttara-kanda.
Mahabharata
Menurut
cerita, kitab Mahabharata itu dihimpun oleh Wyasa Krsna Dwaipayana. Akan tetapi
lebih masuk akal bahwa kitab itu kumpulan dari berbagai macam cerita yang hidup
sejak dari jaman Brahmana dan dikumpulkan antara tahun 400 sebelummasehi sampai
400 sesudah masehi. Kitab ini terdiri dari 18 jilid (parwan), yaitu :
Adi-parwan, Sabha-parwan, Wana-parwan, Wirata-parwan, Udyoga-parwan,
Bhisma-parwan, Drona-parwan, Karna-parwan, Salya-parwan, Sauptika-parwan,
Stri-parwan, Santi-parwan, Anusasana-parwan, Aswamedhika-parwan,
Asramawasika-parwan, Mausala-parwan, Mahaprasthanika-parwan, dan
Swargarohana-parwan.
Sastra
Jawa Kuno jaman Kadiri berupa kakawin, diantaranya : Arjuniawiwaha, Kresnayana,
Sumanasantaka, Smaradahana, Bharatayuddha, Hariwangsa, Gatotkacasraya,
Wrttasancaya, dan Lubdhaka.
Jaman
Majapahit I hasilnya antara lain : Nagarakartagama, Sutasoma,
Arjunawijaya, Kunjarakarna dan
Parthayajna.
Jaman
Majapahit II hasilnya antara lain : Tantu Panggelaran, Calon Arang,
Korawasrama, Bubhuksah, dan Pararaton.
6.
Hasil-Hasil Kebudayaan lain
Seni lukis, tidsk meinggalkan suatu bekas. Namun pada
relief-relief borobudur kita jumpai sebuah gambar pigura yang menggambarkan
potret seseorang. Tentunya saat itu belum ada potret sehingga yang dipahatkan
pada relief itu adalah lukisan.
Tentang
tarian-tarian kita jumpai banyak contohnya pada relief-relief. Para penari baik
laki-laki maupun perempuan menari atas iram gamelan. Dari nagarakertagama kita
ketahui bahwa raja Hayam Wuruk waktu mudanya terkenal sebagai penari yang baik
dalam sandiwara topeng.
Mengenai
gamelan itu menarik perhatian, bahwa gendang sering menjadi alat musik
satu-satunya. Pada relief candi Loro Jonggrang terdapat sejumlah penari yang
berjalan berurut sedangkan masing-masing membawa dan memukul gendang. Alat
bunyi-bunyian dari perunggu seperti saron, bonang dan bermacam-macam gong kecil
banyak pula ditemukan kembali, dan rupanya tangga nada yang dipakai adalah yang
kini dinamakan “slendro” dalam bahsa Jawa. Tentang wayang, dapat kita ketahui
dari kitab Arjunawiwaha bahwa pertunjukan itu sudah digemari rakyat pada jaman
pemerintahan Airlangga.
DAFTAR
PUSTAKA
[1]
Perigi adalah sumur, mata air
[2]
DR. R. Soekmono, Pengantar Sejarah
Kebudayaan Indonesia 2, Yogyakarta: Kanisius, 1973, hal. 85.
[3]
Upawita adalah sejenis perhiasan berupa jalinan rantai melingkar yang dikenakan
melintang pada batang tubuh.
[4]
Aksamala yaitu tasbih
[5]
Camara yaitu pengusir lalat.
Komentar
Posting Komentar