Langsung ke konten utama

MAKALAH: PERANG PADRI



Disusun Oleh : A Sodikin, A Nisa

BAB I

PENDAHULUAN

Masyarakat Minangkabau telah memeluk ajaran Islam sejak Abad 16 atau bahkan sebelumnya. Namun hingga awal abad 19, masyarakat tetap melaksanakan adat yang berbau maksiat seperti  berjudi, sabung ayam maupun mabuk-mabukan. Hal demikian menimbulkan polemik antara Tuanku Koto Tuo seorang ulama yang sangat disegani, dengan para muridnya yang lebih radikal. Terutama Tuanku nan Renceh. Mereka sepakat untuk memberantas maksiat. Hanya, caranya yang berbeda.  
Tuanku Koto Tuo menginginkan jalan lunak. Sedangkan Tuanku nan Renceh cenderung lebih tegas. Tuanku nan Renceh kemudian mendapat dukungan dari tiga orang yang baru pulang dari haji (1803) yang membawa paham puritan Wahabi. Mereka Haji Miskin dari Pandai Sikat, Haji Sumanik dari Delapan Kota, dan Haji Piobang dari Lima Puluh Kota. Kalangan ini kemudian membentuk forum delapan pemuka masyarakat. Mereka adalah Tuanku nan Reneh, Tuanku Bansa, Tuanku Galung, Tuanku Lubuk Aur, Tuanku Padang Lawas, Tuanku Padang Luar, Tuanku Kubu. Ambelan dan Tuanku Kubu Sanang. Mereka disebut “Harimau nan Salapan” (Delapan Harimau).
Tuanku Koto Tuo menolak saat ditunjuk menjadi ketua. Maka anaknya, Tuanku Mensiangan, yang memimpin kelompok tersebut. Sejak itu, ceramah-ceramah agama di masjid berisikan seruan untuk menjauhi maksiat tersebut. Ketegangan meningkat setelah beberapa tokoh adat sengaja menantang gerakan tersebut dengan menggelar pesta sabung ayam di Kampung Batabuh. Konflik terjadi. Beberapa tokoh adat berpihak pada ulama Paderi. Masing-masing pihak kemudian mengorganisasikan diri.
Tuanku Pasaman yang juga dikenal sebagai Tuanku Lintau di pihak Paderi berinisiatif untuk berunding dengan Kaum Adat. Perundingan dilngsungkan di Kota Tengah, antara lain dihadiri Raja Minangkabau Tuanku Raja Muning Alamsyah dari Pagaruyung. Perundingan damai tersebut malah berubah menjadi pertempuran.
Rumusan Masalah
  1. Latar belakang terjadinya perang padri
  2. Para tokoh dan gerakan-gerakan yang dilancarkan untuk menghadapi Belanda
  3. Dampak terjadinya perang padre

BAB II

PEMBAHASAN



1.      Latar Belakang Terjadinya Perang Padri

Perang Padri terjadi berawal dari adanya pertentangan antara Kaum Adat dengan Kaum Padri. Pertentangan dari kedua belah pihak disebabkan karena Kaum Padri ingin memperbaiki keadaan masyarakat Minangkabau yang sering melakukan kegiatan-kegiatan yang bersifat maksiat seperti berjudi, sabung ayam dan mabuk-mabukan dengan cara mengembalikan pada ajaran Islam yang murni. Berawal dari sikap yang dilakukan oleh Haji Miskin yang melarang penduduk Pandai Sikat untuk berhenti menyabung ayam namun larangan tersebut tidak dihiraukan oleh masyarakat. Akhirnya Haji Miskin membakar tempat untuk menyabung ayam tersebut.
Reaksi dari Kaum Adat sangat marah, dan Haji Miskin dikejar-kejar namun dapat lolos dari kejaran tersebut hingga beliau sampai ke Kota Lawas. Disana beliau mendapat perlindungan dari Tuanku Mansiangan. Tuanku Mansiangan segera dapat dipengaruhi oleh Haji Miskin dan bertekad akan membantunya.[1] Perkelahian terjadi antara Kaum Adat dan Kaum Padri yang membuat Haji Miskin menyingkir ke Bukit Kamang karena kalah jumlah dari Kaum Adat.
Haji Miskin diterima dan diberi perlindungan olen Tuanku Nan Renceh. Tuanku-tuanku Nan Renceh mengajak Tuanku-Tuanku di Luhak Agam untuk membentuk persekutuan melawan Kaum Adat.[2] Persekutuan tersebut dinamakan “Harimau Nan Salapan” (Harimau yang Delapan). Mereka mendapat julukan seperti itu karena tindakan-tindakannya yang keras.  Sebelum melakukan gerakan itu mereka bermusyawarah dengan guru yang mereka hormati yaitu Tuanku Kota Tuo.
Dari pihak lain Kaum Adat tidak tinggal diam. Mereka melakukan sabung ayam untuk menghina Kaum Padri. Pertempuran di Batipuh pun terjadi. Beberapa kota seperti Luhak Lima Puluh Kota menerima paham Padri, tetapi Tilatang, Matur dan Candung menetang ketika Tuanku nan Renceh meluaskan pengaruh. Tuanku Kota Tua berusaha mencegah meluasnya pertempuran namun gagal.
Sementara itu pimpinan tertinggi adat di Lembah Alahan Panjang adalah Datuk Bandaro yang setelah mempelajari paham pembaharuan bersama para penghulu lainnya menjadi tertarik dan menerimanya. Dengan demikian ajaran Padri meluas sampai di daerah Lembah Alahan Panjang.[3] Daerah Tanah Datar sendiri kaum Padri dipimpin oleh Tuanku Lintau. Tempat ini memiliki pengaruh adat yang sangat kuat. Di tempat ini pula Raja Minangkabau, Tuanku Raja Muning di Pagaruyung berkedudukan. Pertempuran Kaum Padri dan Kaum Adat terjadi di Tanah Datar. Kaum Adat terdesak, sehingga pengaruh Padri di Tanah Datar makin meluas. Perlawanan ini mulai mengalami perkembangan baru setelah datangnya kekuasaan asing.
Pada saat itu Inggris masih berkuasa di Pantai sebelah Barat Sumatra. Kaum adat mengharapkan bantuan dari Inggris, tetapi perjanjian yang dilakukan antara Inggris dan Belanda membuat Inggris pergi dari Minangkabau. Kekuasaan pun diambil alih oleh Belanda sekaligus mengangkat James Du Puy sebagai Residen dan Kaum Adat pun kembali meminta bantuan, kali ini kepada Belanda.
Residen Du Puy dan Tuanku Suruaso beserta 14 orang Penghulu yang mewakili Minangkabau mengadakan perjanjian. Karena perjanjian tersebut beberapa wilayah Minangkabau menjadi milik Belanda. Pada 18 Februari 1821 Belanda menduduki Simawang dengan membawa dua meriam dan seratus orang tentara. Sejak itu dimulai lah perang antara Kaum Padri melawan Belanda.

2.      Tokoh-tokoh dan Gerakan-gerakan yang Dilancarkan Untuk Menghadapi Belanda

a.       Para tokoh dari Pihak padre antar lain;
1.      Tuanku Iman Bonjol
2.      Tuanku Koto Tuo (Ulama)
3.      Tuanku Nan Renceh (Murid dari Tuanku Nan Tuo)
4.      Haji Miskin (Ulama Pandai Sikek)
5.      Haji Sumanik (Ulama Delapan Kota)
6.      Haji Piobang (Ulama Limo puluah kota)
7.      Tuanku Bansa
8.      Tuanku Galung
9.      Tuanku Lubuk Aur
10.Tuanku Padang Lawas
11.Tuanku Padang Luar
12.Tuanku Kubu Ambelan
13.Tuanku Kubu Sanang
14.Tuanku Raja Muning Alamsyah (Pagaruyung)
15.Tuanku Tangsir Alam (Utusan dari Tuanku Rajo Muning Alamsyah dalam menemui Jenderal Rafless)
16.Tuanku Saruaso
17.Muhammad Syabab
18.Datuk Bandaro
19.Tuanku Lintau
20.Tuanku Nan Gelek
21.Tuanku Mansiangan (Pemimpin Paderi)
22.Tuanku Keramat
23.Tuanku Tambusai
b.      Para tokoh dari pihak Belanda antara lain;

1.      Du Puy (Residen di Padang)
2.      Letkol Raaff (Residen Pengganti Du Puy)
3.      Van Geen
4.      De Stuers
5.      Said Salim al-Jafrid (Penghubung dalam perdamaian antara Kaum Paderi dengan Belanda)
6.      Kolonel Elout
7.      Letnan Thomson
8.      Jenderal Cochius
9.      Jenderal Van Den Bosch
10.  Tuanku Limbur.[4]
Perlawanan yang dilakukan kaum Padri dalam melawan Belanda diantaranya :
·         Masa pertama tahun 1821-1825 yang ditandai dengan meluasnya perlawanan rakyat ke seluruh daerah Minangkabau. Kaum Padri mulai menyerang pos-pos yang dibangun oleh Belanda dan melakukan pencegatan terhadap pasukan patroli mereka. Pertempuran antara pasukan Tuanku Pasaman dengan pasukan Belanda yang membuat kedua belah pihak mengalami kerugian yang sama-sama besar. Dengan sisa pasukannya, Tuanku Pasaman mengundurkan diri Lintau. Belanda mendirikan benteng di Batusangkar. Sebagai usaha kedua belah pihak akhirnya tanggak 15 November 1825 dilangsungkan perundingan yang menghasilkan suatu traktat. Semua permusuhan dihentikan dan kekuasaan Belanda diakui dari pihak Kaum Padri.[5]
·         Masa kedua tahun 1825-1830, Belanda disulitkan dengan perang yang bersamaan yaitu perang Padri dan Perang Diponegoro. Sedangkan untuk Kaum Padri masih tetap belum bisa dikalahkan. Usai Perang Diponegoro itu, tentara Belanda dikerahkan kembali ke Sumatera Barat. Kota demi kota dikuasai. Benteng Bonjol pun bahkan berhasil direbut. Namun sikap kasar tentara Belanda pada tokoh-tokoh masyarakat yang telah menyerah, membuat rakyat marah. Ini membangkitkan perlawanan yang lebih sengit.[6]
·         Masa ketiga tahun 1830-1838, 11 Januari 1833 Padri bangkit. Secara serentak mereka menguasai pos-pos Belanda di berbagai kota. Bahkan Belanda harus meminta bantuan karena kuatnya Kaum Padri. Baru pada akhir tahun 1834 Belanda dapat memusatkan kekuatan untuk menyerang Bonjol, setelah jalan-jalan yang menghubungkan Bonjol dengan daerah pantai dikuasai oleh Belanda.[7] Pada tahun 1837 Kota Bonjol yang berbenteng akhirnya dapat direbut oleh Belanda. Tuanku Imam Bonjol meloloskan diri namun akhirnya menyerah. Dia mula-mula diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon dan akhirnya ke Manado, dimana ia wafat pada tahun 1864.[8]

3.      Dampak Terjadinya Perang Padri


Dampak dari perang Padri sendiri yaitu tertangkapnya Tuanku Imam Bonjol oleh Belanda yang kemudian diasingkan hingga akhirnya wafat. Dampak yang lain yaitu jatuhnya Sumatra Barat ketangan Belanda.[9]




BAB III

PENUTUP



Kesimpulan
Dari awal masyarakat Sumatra Barat memang sudah mempunyai kecenderungan yang berbeda antara adat dan agama. Kaum Padri yang dengan gerakan pemurniannya ingin menjadikan Sumatra Barat menjadi wilayah yang masyarakatnya bebas dari perilaku yang negatif dan berbau maksiat. Sedangakan Kaum Adat yang berada di Sumatra Barat lebih menginginkan adanya keselarasan antara agama dan adat.
Karena perbedaan itulah kemudian timbul perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh Kaum Padri dan Kaum Adat. Dari perlawanan tersebut masuklah Belanda dalam perlawanan tersebut setelah Inggris keluar dari wilayah Sumatra Barat untuk membantu Kaum Adat melawan Kaum Padri. Maksud Belanda tidak hanya untuk membantu melawan Kaum Padri namun juga ingin menguasai wilayah Sumatra Barat tersebut.
Berbagai perlawanan pun dilakukan antara Kaum Pardi yang dipimpin oleh para Tuanku-tuanku dengan Belanda. Semua pasukan dikerahkan, alat-alat perang digunakan. Bahkan tidak sedikit yang gugur dalam perlawanan tersebut. Kemenangan dan kekalahan dialami oleh Belanda dan Kaum Padri. Sampai pada akhirnya Kaum Padri harus takluk kepada kekuatan Belanda yang memang lebih kuat. Pemimpin pasukan Padri yang kuat yaitu Tuanku Imam Bonjol akhirnya ditangkap oleh Belanda dan diasingkan di Priangan, kemudian ke Ambon dan terakhir di Manado. Setelah itu beliau wafat tahun 1864. Kekuasaan di Sumatra Barat akhirnya jatuh ke tangan Belanda.


DAFTAR PUSTAKA

·         *Abdullah, Taufik; “Sejarah Lokal di Indonesia”, Gadjah Mada University Press : Yogyakarta, 1990.
·        * Kartodirdjo,Sartono; “Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500—1900 dari Emporium sampai Imperium jilid 1”, Gramedia Pustaka Utama : Jakarta, 1999.
·         *Djoened, Marwati Poesponegoro Nugroho Notosusanto; “Sejarah Nasioanl Indonesia jilid IV”, Balai Pustaka : Jakarta, 1990.
·        * Ricklefs, M.C.; “Sejarah Indonesia Modern”,  Gadjah Mada University : Yogyakarta, 1995.

·       *  http://anemonz.blogspot.com/2011/08/perang-padri-1821-1837.html diakses hari sabtu, pada tanggal 3/1/2014, pukul 19 : 25 wib. 
 
·       *  http://gerakanpaderi.wordpress.com/tokoh-tokoh/ diakses pada hari sabtu, tanggal 1/3/2014, pukul:21: 20 wib.
·       *  sumber http://swaramuslim.net diakses hari sabtu tanggal 3/1/2014 jam 21: 20 wib.


[1] Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional Indonesia Bab IV, Jakarta: Balai Pustaka, 1990. Halaman. 170.
[2] Ibid.
[3] Ibid.halaman 171
[4] http://gerakanpaderi.wordpress.com/tokoh-tokoh/ diakses pada hari sabtu, tanggal 1/3/2014, pukul:21: 20 wib.
[5] Sartono, Kartodirjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru : 1500-1900. Dari Emporium sampai Imperium jilid 1, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999. Halaman. 380.
[6] http://gerakanpaderi.wordpress.com/tokoh-tokoh/ diakses pada hari sabtu, tanggal 1/3/2014, pukul:21: 20 wib.
[7] Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Op. Cit, halaman 181.
[8] M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1995. Halaman 215.
[9] http://swaramuslim.net diakses hari sabtu tanggal 3/1/2014 jam 21: 20 wib.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAKALAH: PERJUANGAN DAN KEPEMIMPINAN CUT MEUTIA MELAWAN KOLONIAL BELANDA DI TANAH ACEH TAHUN 1901-1910

 BAB I PENDAHULUAN A.    Latar Belakang Perang Aceh yang terjadi dari tahun 1873 sampai 1904 yang ditandai dengan menyerahnya Kesultanan Aceh menjadi salah satu perlawanan yang cukup sengit melawan kolonial Belanda pada saat itu. Perebutan wilayah Aceh oleh Belanda dan rakyat Aceh yang tidak rela wilayahnya dikuasai oleh Belanda   menjadi faktor utama perlawanan di Aceh. Banyak rakyat yang gugur dalam perlawanan tersebut   termasuk para pemimpin perlawanan seperti Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan masih banyak lagi.

MAKALAH: MAULID NABI

BAB I PENDAHULUAN A.     Latar Belakang Maulid Nabi Muhammad SAW atau kadang disebut maulid nabi adalah peringatan hari lahir nabi Muhammad SAW yang perayaannya jatuh pada tanggal 12 Rabi’ul Awal dalam penanggalan Hijriyah. Kata Maulid atau Milad berarti hari lahir. Perayaan Merupakan tradisi yang berkembang di masyarakat Islam jauh setelah Nabi Muhammad SAW wafat. Secara substansi peringatan ini adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Nabi Muhammad SAW. Dari munculnya maulid nabi hingga perkembangannya, peringatan maulid nabi sendiri tidak terlepas dari perbedaan pendapat antara kelompok yang mendukung adanya perayaan maulid nabi dengan kelompok yang mementangnya. Makalah ini sedikit akan menjelaskan tentang hal-hal tersebut. B.      Rumusan Masalah Rumusan masalah yang akan dijelaskan pada makalah ini yaitu : 1.       Bagaimana awal muncul dan perkembangan Maulid Nabi? 2.       Bagaimana pendapat tentang perayaan Maulid Nabi? BAB II